Bagikan:

JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mewaspadai kenaikan inflasi Amerika Serikat (AS) yang masih tinggi sehingga pada akhirnya akan membuat Bank Sentral AS, The Fed semakin hawkish dalam kebijakan moneternya.

"Kita baru saja melihat tadi malam angka inflasi AS di level 8,3 persen secara tahunan pada Agustus 2022, yang menyebabkan reaksi negatif," ujar Sri Mulyani dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta, dilansir dari Antara, Rabu 1 September.

Ia menyebutkan reaksi negatif tersebut terjadi lantaran kenaikan inflasi Negeri Paman Sam bukan hanya terjadi pada inflasi indeks harga konsumen (IHK), tetapi inflasi intinya pun juga meningkat.

Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan pada Selasa (13/9) bahwa IHK negara itu naik 0,1 persen secara bulanan pada Agustus 2022, dengan kenaikan 8,3 persen secara tahunan.

Inflasi inti, yang tidak termasuk makanan dan energi, naik 0,6 persen secara bulanan dan 6,3 persen secara tahunan. Angka tersebut lebih tinggi dari ekspektasi pasar.

Maka dari itu, Sri Mulyani akan terus memantau kondisi global tersebut karena berpotensi mempengaruhi tiga asumsi makro Indonesia ke depannya, yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar rupiah, terutama pada tahun 2023.

"Tentu perlu untuk terus diamati dan diantisipasi kalau guncangan global bergerak ke arah yang tidak dapat diprediksi," ucap dia.

Adapun untuk tahun 2023, sambung dia, pertumbuhan ekonomi ditargetkan mencapai 5,3 persen.

Target tersebut dengan harapan situasi dunia tidak memburuk, baik dari sisi keamanan, geopolitik, maupun dampak dari kinerja ekonomi global akibat kenaikan suku bunga acuan bank sentral dunia yang diperkirakan akan semakin tinggi dan cukup cepat kenaikannya.