JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut bahwa situasi global masih terus diliputi ketidakpastian yang berlanjut sehingga arah perekonomian ke depan harus tetap diwaspadai. Menurut dia, salah satu indikator penting dari kondisi tersebut adalah fluktuasi harga minyak dunia.
Katanya, walaupun saat ini tekanan sudah mulai mereda namun tren harga komoditas itu cenderung masih berada di level tinggi. Adapun, salah satu yang menjadi faktor penentu di masa mendatang adalah risiko resesi yang meluas di beberapa negara.
“Negara maju seperti Amerika dan kawasan Eropa berpotensi menghadapi resesi yang kuat akibat inflasi tinggi saat ini, bahkan tertinggi dalam 40 tahun terakhir,” ujarnya saat memberikan pemaparan dalam forum Sarasehan Ekonomi Nasional, Rabu, 7 September.
Kondisi itu kemudian direspon oleh bank sentral dengan pengetatan likuiditas yang berujung pada peningkatan suku bunga acuan. Malahan dalam perkembangan geopolitik terkini menjadikan komoditas minyak sebagai salah satu alat politik dalam menekan negara lain.
“Jadi minyak saat ini sudah menjadi instrumen perang (imbas konflik Rusia-Ukraina),” tegas dia.
BACA JUGA:
Menkeu menambahkan, pemerintah sendiri berharap stabilitas harga minyak dapat dicapai di kisaran 90 dolar per barel setelah sempat memuncak sampai 126 dolar per barel.
“Sepanjang perang terjadi maka akan terus ada disrupsi suplai ke pasar global. Ini yang harus kita antisipasi,” tuturnya.
Dalam catatan redaksi, harga patokan minyak Indonesia (indonesian crude price/ICP) dalam Undang-Undang APBN 2022 adalah sebesar 63 dolar per barel. Angka tersebut kemudian mengalami peningkatan jadi 100 dolar per barel seiring dengan melonjaknya banderol minyak mentah dunia.
Adapun, dalam RUU APBN 2023 yang diajukan Presiden Jokowi pada 16 Agustus lalu ditetapkan asumsi 90 dolar per barel untuk tahun depan.