Harga Pertalite Naik jadi Rp10.000, Pengamat: Masyakarat Jatuh Tertimpa Tangga Berkali-kali
Ilustrasi. (Moksa Hutasoit/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah secara resmi telah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar masing-masing menjadi Rp10.000 per liter dan Rp6.800 per liter.

Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai penyesuaian harga ini dilakukan dalam waktu yang tidak tepat. Menurutnya, masyarakat belum siap menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi Rp10.000 per liter. Dampaknya, Indonesia bisa terancam risiko stagflasi, yakni naiknya inflasi yang signifikan dan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja.

"BBM bukan sekedar harga energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, tapi juga ke hampir semua sektor terdampak. Misalnya harga pengiriman bahan pangan akan naik di saat yang bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal, terutama pupuk," ujarnya kepada VOI, Sabtu 3 September.

Bhima merinci, inflasi bahan makanan masih tercatat tinggi pada bulan Agustus yakni 8,55 persen year on year, bakal makin tinggi. Diperkirakan inflasi pangan kembali menyentuh dobel digit atau di atas 10 persen per tahun pada September ini. Sementara inflasi umum diperkirakan menembus di level 7 hingga 7,5 persen hingga akhir tahun dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif.

"Konsumen ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali-kali. Belum sembuh pendapatan dari pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga pinjaman," lanjutnya.

Lebih lanjut Bhima menambahkan, masyarakat yang memiliki kendaraan pribadi dan tidak memiliki kendaraan sekalipun, akan mengurangi konsumsi barang lainnya. Karena BBM ini kebutuhan mendasar, kata dia, ketika harganya naik maka pengusaha di sektor industri pakaian jadi, makanan minuman, hingga logistik semuanya akan terdampak.

Menurutnya, pelaku usaha dengan permintaan yang baru masuk fase pemulihan tentu akan juga akan menghadapi risiko PHK massal.

"Sekarang realistis saja, biaya produksi naik, biaya operasional naik, permintaan turun ya harus potong biaya biaya. Ekspansi sektor usaha bisa macet, nanti efeknya ke PMI manufaktur kontraksi kembali di bawah 50," sambungnya.

Sementara itu terkait bantuan sosial (Bansos) yang akan diberikan pemerintah kepada masyarakat kurang mampu, menurutnya hanya akan melindungi orang miskin dalam waktu 4 bulan dan tidak akan cukup dalam mengkompensasi efek kenaikan harga BBM.

"Misalnya ada kelas menengah rentan, sebelum kenaikan harga Pertalite masih sanggup membeli di harga Rp7.650 per liter, sekarang harga Rp10.000 per liter mereka turun kelas jadi orang miskin. Data orang rentan miskin ini sangat mungkin tidak tercover dalam BLT BBM karena adanya penambahan orang miskin paska kebijakan BBM subsidi naik. Pemerintah perlu mempersiapkan efek berantai naiknya jumlah orang miskin baru dalam waktu dekat," beber Bhima.

Asal tahu saja, pemerintah secara resmi menyesuaikan harga Bahan bakar Minyak (BBM) subsidi jenis Pertalite dan Solar Subisidi.

Untuk harga yang baru, pemerintah membanderol harga Pertalite yang sebelumnya Rp7.650 per liter menjadi Rp10.000 per liter, Solar Subsidi yang sebelumnya Rp5.150 per liter naik menjadi Rp6.800 per liter.

"Hari ini 3 September 2022, pukul 13.30 WIB, pemerintah memutuskan untuk menyesuaikan harga BBM subsidi antara lain Pertalite dari Rp7650 per liter menjadi Rp10.000 per liter dan solar dari Rp5.150 per liter menjadu Rp6800 per liter, Pertamax dari Rp12.500 menjadi Rp14.500 per liter," ujar Menteri ESDM Arifin Tasrif dalam Konferensi Pers bersama Presiden Jokowi dan Menteri Terkait perihal Pengalihan Subsidi BBM, Istana Merdeka, Sabtu 3 September.

Adapun kenaikan harga ini berlaku satu jam sejak diumumkan sejak penyesuaian harga ini yakni pukul 14.30.