JAKARTA – Kondisi perekonomian global diyakini belum menunjukan tanda-tanda pemulihan yang signifikan dalam waktu dekat. Suramnya proyeksi tersebut bisa dilihat laporan IMF yang mengoreksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini menjadi 3,2 persen dari sebelumnya 3,6 persen.
Malahan, angka itu “lebih buruk dua kali” dari asumsi IMF di awal tahun yang sempat memasang target 4,4 persen.
Ketidakpastian yang berlanjut semakin tercermin dari skenario terburuk pertumbuhan ekonomi global yang cuma mentok 2,6 persen pada penutupan 2022 dan kembali melambat jadi 2 persen di 2023.
Meski mayoritas negara dunia sedang mengalami tekanan, Indonesia cenderung bisa memanfaatkan situasi melalui peningkatan pendapatan. Bukti tersebut dapat ditelusuri pada laporan APBN semester I 2022 yang mencatatkan surplus anggaran Rp73,6 triliun.
Asal tahu saja, kinerja moncer ini diraih berkat fenomena durian runtuh alias windfall yang dialami RI dari ekspor batu bara dan minyak sawit (CPO).
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri merilis jika neraca perdagangan Indonesia pada triwulan II 2022 mengalami surplus sebesar 15,55 miliar dolar AS. Angka itu meroket 148 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya dengan surplus 6,2 miliar dolar AS.
Torehan ini sekaligus memperpanjang rekor surplus neraca perdagangan selama 26 bulan berturut-turut atau sejak periode Mei 2020. Kuatnya stabilitas makro perekonomian membuat Indonesia terhindar dari potensi resesi pada paruh pertama 2022.
BACA JUGA:
Sebelumnya, hasil survei Bloomberg baru-baru ini memperkirakan Indonesia memiliki peluang 3 persen untuk mengalami perlambatan ekonomi.
Akan tetapi hal itu terpatahkan oleh BPS dalam siarannya pagi ini Jumat, 5 Agustus, yang menyatakan bahwa perekonomian tumbuh 5,44 persen (year on year/yoy) di triwulan II 2022. Level ini lebih tinggi dari bukuan triwulan pertama yang sebesar 5,01 persen.
Agaknya, hasil yang diraih RI pada penutupan semester I melebihi ekspektasi pemerintah dan juga Bank Indonesia (BI). Dalam catatan VOI, pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hanya menyebut pertumbuhan kuartal II di atas 5 persen tanpa merinci lebih jauh besaran angka.
Biasanya, institusi pimpinan Sri Mulyani tersebut cukup agresif dalam menetapkan growth produk domestik bruto (PDB).
Sikap konservatif justru lebih sering diperlihatkan oleh bank sentral dalam melihat pertumbuhan ekonomi. Melalui Gubernur Perry Warjiyo, bank sentral sempat menyebut bahwa laju pertumbuhan triwulan kedua hanya sebesar 5,05 persen.
Namun kedua ramalan tersebut berhasil dipatahkan melalui pencapaian ekonomi Indonesia yang lebih baik.