Bagikan:

JAKARTA - Ekonom Universitas Indonesia Vid Adrison menyebutkan bahwa berbagai risiko eksternal akan menjadi tantangan bagi penyusunan dan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

"Hal tersebut (risiko eksternal) dapat berimplikasi terhadap tekanan fiskal," katanya dalam keterangan resmi Kemenkeu mengenai Konsultasi Publik RUU APBN Tahun Anggaran 2023, dikutip dari Antara, Selasa 26 Juli.

Adrison menuturkan beberapa risiko eksternal ini meliputi kenaikan harga komoditas energi, tekanan inflasi di luar negeri serta penurunan pertumbuhan ekonomi global.

Berbagai risiko tersebut berpotensi memberi dampak terhadap tekanan fiskal yaitu melalui adanya kenaikan subsidi yang berpeluang dilakukan oleh pemerintah.

Tak hanya itu, tantangan eksternal turut berpotensi menyebabkan penurunan terhadap basis penerimaan pajak serta kenaikan dari sisi belanja.

Menurut Adrison, salah strategi yang dapat ditempuh untuk membantu mengurangi pressure terhadap anggaran adalah melalui efisiensi.

Selain itu, beberapa upaya yang dapat dilakukan dari sisi pendapatan antara lain melalui penggunaan NIK sebagai ID Pajak dan optimalisasi penerimaan negara dari cukai hasil tembakau.

Selain tantangan eksternal, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dian Puji Simatupang mengatakan RAPBN 2023 juga memiliki tantangan tersendiri karena tahun depan defisit harus kembali ke maksimal tiga persen dari PDB.

Terlebih lagi, ia menjelaskan proses penyusunan defisit APBN 2023 kembali ke tiga persen terhadap PDB juga terjadi di tengah kondisi perekonomian global yang masih turbulensi.

Meski demikian, reformasi struktural perekonomian nasional menjadi penguat sistem pengelolaan keuangan negara sehingga akan lebih efektif, transparan dan akuntabel.

"Oleh sebab itu, RAPBN 2023 layak disebut sebagai wujud rencana keuangan negara yang berkarakter prospektif dan antisipatif," tegas Dian.