Bagikan:

JAKARTA – Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Dian Puji Simatupang mengatakan bahwa penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2023 memiliki tantangan tersendiri. Pasalnya, pemerintah harus kembali menyusun defisit keuangan negara maksimal 3 persen dari PDB.

“Proses penyusunan tersebut terjadi di tengah kondisi perekonomian global yang masih turbulensi akibat adanya krisis konflik internasional dan pandemi yang masih terjadi dengan berbagai varian,” ujarnya dalam diskusi publik APBN dikutip Selasa, 26 Juli.

Menurut Dian, sejalan dengan kondisi tersebut terdapat reformasi struktural perekonomian nasional yang menguatkan sistem pengelolaan keuangan negara yang lebih efektif, transparan dan akuntabel.

“Oleh sebab itu, RAPBN 2023 layak disebut sebagai wujud rencana keuangan negara yang berkarakter prospektif dan antisipatif,” tuturnya.

Sebagai informasi, di masa pandemi dua tahun terakhir ini APBN mengalami tekanan yang cukup berat sehingga pemerintah diberikan keleluasaan untuk memperlebar defisit melebihi ambang batas 3 persen. Adapun, ketentuan APBN kembali ke maksimal 3 persen dari PDB merujuk pada Pasal 2 ayat (1) huruf a UU Nomor 2 tahun 2020.

Dalam catatan VOI, pemerintah dan DPR merancang belanja negara sebesar Rp2.266,7 triliun hingga Rp2.398,8 triliun tahun depan.

Sementara untuk sisi pendapatan diproyeksi bisa meraup hingga nilai Rp1.884,6 triliun sampai dengan Rp1.967,4 triliun. Artinya, skema defisit anggaran akan kembali melandai sesuai ketentuan di bawah 3 persen PDB.

Sementara untuk beberapa asumsi makro perekonomian tercatat pertumbuhan ekonomi 5,3 hingga 5,9 persen, laju inflasi 2 hingga 4 persen, nilai tukar rupiah Rp14.300 hingga Rp14.800 per dolar AS, tingkat bunga Surat Utang Negara 10 tahun 7,34 hingga 9,16 persen.