JAKARTA - Pertamina dan Air Liquide Indonesia melakukan kerja sama untuk mengembangkan teknologi carbon capture and utilization (CCU) di Unit Pengolahan Kilang Balikpapan.
Kesepakatan kerja sama ini diwujudkan dalam penandatanganan Joint Study Agreement (JSA) oleh Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dan President Director of PT Air Liquide Indonesia Marloes Moerman di Paris, Prancis, Selasa, 17 Mei waktu setempat.
Nicke menjelaskan, dalam kerangka JSA ini, Pertamina dan Air Liquide akan melakukan studi bersama penerapan teknologi penangkapan CO2 Syngas dan Flue Gas dari produksi Hidrogen di area Kilang Balikpapan.
"Emisi CO2 yang telah ditangkap kemudian akan dikompresi dan dialirkan ke area penyimpanan CO2 yang potensial di cekungan Kutai Kalimantan Timur sebagai solusi untuk produksi hydrogen rendah karbon atau blue hydrogen," jelasnya dalam keterangan kepada media, Rabu 18 Mei.
BACA JUGA:
Dikatakan Nicke, sebagian CO2 juga akan dikonversi menjadi produk bernilai tambah methanol yang selanjutnya dapat dicampurkan dengan bahan bakar minyak untuk produksi bahan bakar rendah karbon.
Hadir dalam kesempatan yang sama, Wakil Menteri BUMN Pahala Nugraha Mansury mengatakan, pemerintah berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan emisi net zero pada tahun 2060 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021.
Perpres tersebut diterjemahkan ke dalam 48 aturan turunan dan beberapa aturan sedang disusun seperti national determined contribution (NDC) per sektor, carbon economic value, dan pajak karbon.
“Kementerian BUMN telah berkomitmen untuk memulai dekarbonisasi dan secara aktif memimpin agenda dekarbonisasi dengan 3 pilar inisiatif, reduce end-to-end emission, build adjacent businesses, dan explore step-out opportunities,” ujar Pahala.
Menurut Pahala, inisiatif ini memiliki target agresif yakni mengurangi sekitar 85 juta ton CO2e/Tahun atau berkontribusi sebesar 10 persen pada NDC di tahun 2030.
“Penerapan teknologi CCUS dapat meningkatkan produksi minyak dan gas sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan,” imbuh Pahala.
Teknologi CCUS, sambung Pahala, memungkinkan kilang Pertamina untuk membuat CO2 yang tersedia baik untuk penyimpanan (CCS) atau penggunaan (CCU) dan mengintegrasikan sektor ini ke dalam ekonomi sirkular.
Selanjutnya, Nicke mengatakan, penerapan teknologi carbon capture, utilization, and storage (CCUS) merupakan salah satu inisiatif untuk mengurangi emisi karbon dari fasilitas kilang Pertamina sekaligus menjadi solusi peningkatan produksi migas di era transisi energi.
"Saat ini transisi energi merupakan isu prioritas. Pertamina telah memainkan peran penting dalam memimpin transisi industri energi Indonesia," kata dia.
Pertamina, kata Nicke, menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 30 persen dan meningkatkan bauran energi terbarukan dari 9,2 persen pada 2019 menjadi 17,7 persen pada 2030.
Pada saat yang sama, Indonesia memegang Presidensi G20 dengan memprioritaskan transisi ke energi berkelanjutan sebagai salah satu isu utama.
"Kami berharap dengan ditandatanganinya JSA antara Pertamina dan Air Liquide ini akan membawa dampak positif bagi percepatan implementasi teknologi rendah karbon serta penyediaan Low Carbon Energy Resilience di Indonesia," imbuh Nicke.
Melalui kerja sama ini, tambah Nicke, diharapkan akan mempercepat penerapan green technology dalam menyediakan energi rendah karbon sekaligus menjaga perubahan iklim global.