Bagikan:

NEW YORK - Sebuah jejaring peretas dari seluruh dunia dalam beberapa waktu terakhir telah melancarkan serangkaian serangan siber terhadap berbagai fasilitas publik milik Rusia. Sebagaimana dilansir oleh The Guardian, pada Selasa, 1 Maret, kelompok yang menyebut dirinya dengan sebutan Anonymous itu telah mengklaim bertanggung jawab atas beberapa insiden dunia siber yang terjadi, termasuk diantaranya peretasan database milik Kementerian Pertahanan Rusia.

Seolah jengah negaranya terus diserang, kini beberapa peretas dari Negeri Beruang Merah disinyalir mulai melakukan serangan balik dengan menjadikan bank-bank di Amerika Serikat (AS) sebagai targetnya. Berdasarkan laporan New York Post, Jumat, 4 Maret, disebutkan bahwa bank-bank besar seperti JP Morgan, Citigroup, Bank of America hingga Goldman Sachs mulai dibombardir serangan siber.

Menurut laporan tersebut, sumber internal dari jajaran eksekutif bank-bank tersebut mengeluhkan bahwa sejumlah data dan informasi nasabahnya telah berhasil dibobol oleh para peretas. Meski anggaran hingga miliaran dolar AS telah dihabiskan setiap tahunnya guna membangun perlindungan, namun massifnya serangan yang dilancarkan kali ini membuat data-data konfidensial milik perbankan tersebut akhirnya berhasil diretas.

Dijelaskan bahwa karakteristik serangan yang dilancarkan para peretas Rusia disebut cenderung berbeda dibanding jenis serangan yang dilancarkan oleh kelompok Anonymous. Pola serangan ala para peretas asal Rusia dikatakan cenderung 'halus', namun dilancarkan secara intensif dan efektif sehingga dapat merusak infrastruktur teknologi perbankan yang dijadikan target.

Namun demikian, masih menurut sumber yang sama, dijelaskan pula bahwa dampak dari gelombang serangan tersebut masih dapat dikendalikan dengan baik oleh tim IT perbankan terkait, sehingga diklaim tidak menimbulkan kekacauan sistemik lebih lanjut.

Terkait serangan tersebut, pihak pemerintah Rusia membantah memiliki hubungan dengan kelompok peretas tersebut. Meski demikian, pejabat intelijen AS sangat yakin bahwa gerakan 'bawah tanah' itu telah mendapatkan dukungan diam-diam dari Presiden Rusia, Vladimir Putin.