Kaleidoskop 2021, Industri Penerbangan Masih Loyo Dihantam Pandemi: Garuda Indonesia Rugi Puluhan Triliun
Ilustrasi. (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Imbauan "di rumah saja", bekerja dengan cara "work from home/ WFH", hingga pembatasan mobilitas masyarakat selama 2021 berdampak pada berkurangnya jumlah orang bepergian.

Bahkan secara psikologis, ancaman COVID-19 membuat orang berpikir panjang untuk melakukan perjalanan jauh. Akibatnya, moda transportasi kekurangan penumpang, termasuk moda udara, yang mana penerbangan domestik maupun internasional menjadi sepi.

Catatan Indonesia National Air Carriers Association (INACA) menunjukkan, terjadi penurunan tajam jumlah penumpang pesawat dalam dua tahun terakhir dibandingkan tahun 2019. Hal tersebut disebabkan pembatasan mobilitas akibat pandemi COVID-19. Realisasi penumpang pesawat domestik pada 2019 sekitar 80 juta penumpang.

Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat total jumlah penumpang udara di Indonesia selama 2019 mencapai 95,56 juta, yang terdiri atas penumpang penerbangan domestik 76,68 juta dan penerbangan internasional 18,88 juta.

Akibat pandemi COVID-19 sejak Maret 2020 dan pembatasan mobilitas penduduk, jumlah penumpang turun menjadi 36,05 juta pada tahun lalu, yang terdiri atas penumpang penerbangan domestik 32,39 juta dan penerbangan internasional 3,66 juta. Pada 2021, total jumlah penumpang udara diperkirakan 28 juta seiring dengan merebaknya varian COVID-19 varian Delta pada sekitar Juli-Agustus lalu.

Penurunan jumlah penumpang menyebabkan ndustri penerbangan melesu, bahkan tidak bisa menghindar dari kerugian. Ambil contoh saja maskapai pelat merah, Garuda Indonesia. Pada 2021, PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menelan kerugian bersih senilai 1,334 miliar dolar AS atau setara dengan Rp18,94 triliun (kurs Rp14.200 per dolar AS) pada periode laporan keuangan yang berakhir pada 30 September 2021. Kerugian ini membengkak 25 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya yang tercatat 1,07 miliar dolar atau Rp15,19 triliun.

Kinerja keuangan Garuda ini disampaikan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam Rapat Kerja Menteri BUMN dengan Komisi VI, Selasa 9 November siang. Berdasarkan paparannya, per September 2021 Garuda mencatatkan pendapatan sebesar 568 juta dolar atau sekitar Rp8,06 triliun. Capaian ini anjlok 50 persen dari pendapatan periode yang sama tahun sebelumnya yang senilai 1,13 miliar dolar atau setara Rp16,05 triliun.

Dari sisi total pendapatan, perolehan GIAA pada tiga bulan pertama 2021 hanya 353,07 juta dolar. Perolehan ini anjlok 54,03 persen jika dibandingkan total pendapatan kuartal I 2020 yang sebesar 768,12 juta dolar.

Bagaimana yang lain? Lion Air Group pun terhantam pandemi. Salah satu pertandanya adalah manajemen mengumumkan pengurangan tenaga kerja dengan merumahkan karyawan (status tidak pemutusan hubungan kerja/PHK) menurut beban kerja (load) di unit masing-masing yaitu kurang lebih 25 persen hingga 35 persen karyawan dari 23.000 karyawan.

Prospek 2022

INACA melihat prospek 2022 dari angka vaksinasi. Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja mengatakan merasa prihatin dengan situasi maskapai di Indonesia saat ini. Selama pandemi COVID-19 belum teratasi, industri penerbangan dan perusahaan maskapai masih akan tertekan.

Maka dari itu, ia berharap vaksinasi bisa diakselerasi sehingga kekebalan kelompok (herd immunity) bisa lebih cepat terbentuk. Dengan begitu, mobilitas masyarakat dan penggunaan transportasi udara bisa lekas pulih.

BPS juga mengemukakan optimisme bahwa dengan percepatan vaksinasi dan membaiknya penanganan COVID-19, pada 2022 jumlah penumpang transportasi udara diproyeksikan naik kembali menjadi 56 juta terutama dari penumpang domestik.

Soal angka, INACA juga seoptimis BPS. Proyeksi INACA antara lain penumpang domestik penerbangan pada 2022 bisa mulai menembus 60 juta penumpang. Optimisme itu didasarkan pada kebijakan pemerintah yang mulai menurunkan level pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Bahkan, pada akhir tahun ini kebijakan PPKM level 3 yang semula bakal diterapkan oleh pemerintah menjelang periode Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 batal diterapkan. Kebijakan ini akan membuka mobilitas masyarakat. Ujung-ujungnya akan banyak lagi penumpang pesawat.

Namun begitu, optimisme itu masih harus diuji. Lihat dulu progres kasus COVID-19 seusai libur Natal dan Tahun Baru. Meski sudah diatur sedemikian rupa, mobilitas selama periode tersebut meningkat. Mudah saja dilihat dari jumlah mobil yang meninggalkan Jakarta.