Heboh Kasus Salah Transfer Rp32,5 Miliar oleh BRI, Anggota DPR Firman Subagyo Minta OJK dan BI Periksa Kemungkinan Adanya Kejahatan Perbankan
Gedung kantor cabang BRI. (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota DPR Firman Subagyo meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia untuk memeriksa kemungkinan adanya kejahatan perbankan dalam kasus salah transfer terbesar di Indonesia oleh PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI), dengan nilai fantastis mencapai Rp32,5 miliar.

Pada Selasa, 21 Desember 2021 lalu, nasabah prioritas BRI bernama Indah Harini, melalui kuasa hukumnya, mengumumkan menggugat bank BUMN tersebut sebesar Rp1 triliun atas kerugian materiil dan immateriil akibat kasus salah transfer yang menyebabkan dirinya dikriminalisasi menggunakan UU No 3 Tahun 2001 Tentang Transfer Dana.

Kasus ini menyedot perhatian publik lantaran besarnya nilai transfer oleh BRI, yang disebut sebagai salah transfer dengan keterangan Invalid Kredit Account Currency dan lamanya waktu sebelum pihak bank mempermasalahkan dana fantastis yang telah ditransfernya, yakni memakan waktu sekitar 11 bulan.

"Sebaiknya direksi hingga komisaris perlu diminta keterangan terkait salah transfer. Pasalnya dengan akumulasi nilai yang fantastis hingga mencapai Rp30 miliar patut diduga ada unsur kesengajaan, kejahatan atau unsur lain yang harus diteliti yang sangat merugikan nasabah," kata Firman Subagyo dalam keterangan tertulisnya, dikutip Senin 27 Desember.

Firman mengatakan adalah hal yang tidak logis BRI baru mempermasalahkan dana yang ditransfer ke nasabah prioritasnya tersebut setelah 11 bulan. Menurut keterangan resmi kuasa hukum Indah, sejak 1 Desember 2019 sampai sebelum 6 Oktober 2020, BRI tidak pernah mempermasalahkan transfer dana tersebut.

Namun pada 6 Oktober 2020, seorang account officer BRI, yang biasa melayani Indah sebagai nasabah prioritas, menelepon dan memberi tahu bahwa telah terjadi kekeliruan dalam transaksi tabungan valas miliknya, dengan angka fantastis sebesar GBP 1,714,842.00 yang diterima Indah pada kurun waktu 25 November 2019 sampai 15 Desember 2019.

Mengomentari hal tersebut, Firman menggarisbawahi beberapa kejanggalan, di antaranya, jika transaksi tersebut terjadi pada Desember 2019, maka ketika tutup buku di tahun yang sama, kesalahan tersebut seharusnya sudah terdeteksi dan dapat dikoreksi.

"Ada yang janggal. Regulator sebaiknya tidak mendiamkan kasus seperti ini. Khawatirnya bisa menjadi preseden buruk bagi industri perbankan, khususnya bagi bank pelat merah," kata Firman, seraya menambahkan jangan sampai ada kesengajaan yang merugikan nasabah perbankan.

"Motif ini yang harus ditelusuri agar nasabah tidak terus meneruskan di PHP-kan dan dikecewakan dengan layanan yang tidak profesional," kata Firman Subagyo.