JAKARTA – Istilah YONO belakangan ini ramai digunakan di media sosial dan dalam kehidupan sehari-hari. Kemunculan istilah ini dilatarbelakangi keinginan untuk berhenti dari budaya konsumtif yang selama ini mendominasi masyarakat modern.
YONO adalah akronim dari You Only Need One, sebuah filosofi gaya hidup baru yang mengajak individu untuk mengevaluasi ulang pola konsumsi. Gaya hidup YONO diyakini bisa menggantikan prinsip YOLO yang berpotensi membahayakan perekonomian individu.
Sebelum ini, gaya hidup YOLO atau You Only Live Once menjadi panutan banyak orang, terutama generasi milenial, yaitu mereka yang lahir pada periode 1980 sampai 1997. Tren YOLO digambarkan sebagai gaya hidup sebebas-bebasnya dan hanya mengutamakan kesenangan sesaat. Misalnya membeli barang-barang secara impulsif tanpa memikirkan fungsi ke depannya.
Hal ini tidak hanya bisa berdampak negatif pada keuangan, tapi juga kesehatan mental individu, bahkan hingga memengaruhi lingkungan. Perencana keuangan Prita Ghozie mengatakan kalau pola pikir YOLO berdampak pada generasi milenial Indonesia dari sisi ekonomi dan psikologis.
“Kecenderungan yang muncul adalah generasi milenial akan menjadi konsumtif dan mengutamakan pengeluaran untuk kegiatan yang sifatnya pengalaman. Contohnya travelling, experienced buying, dan lain-lain,” ujar Prita.
Mementingkan Kualitas daripada Kuantitas
Namun dalam beberapa pekan terakhir, muncul istilah YONO yang populer di kalangan masyarakat. Katanya, tren ini untuk menggantikan gaya hidup YOLO yang menurut banyak pakar memiliki dampak negatif.
Gerakan YONO sebenarnya bermula dari situasi krisis global setidaknya setahun ke belakang. Masyarakat pun mulai menyadari bahwa gaya hidup konsumtif tidak lagi relevan dengan kehidupan sekarang.
Kondisi ekonomi yang semakin tidak menentu memaksa masyarakat untuk lebih banyak memutar otak menggunakan uang sebijak mungkin, di antaranya fokus terhadap kebutuhan yang paling esensial.
Muncullah istilah YONO sebagai sebuah filosofi yang menawarkan cara pandang baru dalam menyikapi kepemilikan dan konsumsi. Secara sederhana, filosofi ini mengajarkan orang bahwa dalam hidup, yang sebenarnya dibutuhkan adalah satu hal yang berkualitas daripada memiliki banyak hal tapi tidak penting.
Filosofi YONO tidak hanya bicara tentang membatasi kepemilikan barang secara kuantitatif. Yang terpenting dalam tren ini adalah memilih barang yang berkualitas. Itu artinya, lebih baik memiliki satu barang berkualitas tinggi yang lebih awet dibandingkan beberapa barang berkualitas yang cepat rusak.

Konsep YONO juga disebut-sebut membantu generasi Z lebih bijaksana dalam mengelola keuangan, dengan hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan.
Tapi filosofi YONO bukan semata-mata tentang menghemat pengeluaran atau pola konsumsi. Menurut sejumlah kalangan, filosofi ini mengajak individu untuk memikirkan ulang hubungan orang dengan materi, mengevaluasi apa yang nenar-benar penting dalam hidup, dan bagaimana pilihan konsumsi kita berdampak pada lingkungan dan kesejahteraan mental.
Sehingga secara luas, filosofi YONO mencakup pemikiran tentang keberlanjutan, dampak lingkungan, dan bagaimana kita bisa hidup lebih bermakna dengan lebih sedikit kepemilikan.
Tidak Mengejar Tren
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, tren YOLO mengajak orang untuk "hidup sekali" dan menikmati setiap momen tanpa terlalu memikirkan konsekuensi jangka panjang. Filosofi ini mendorong spontanitas, pengambilan risiko, dan kenikmatan sesaat. Tak heran jika pengikuti YOLO cenderung mengutamakan pengalaman dan kesenangan sesaat yang sifatnya instan.
Sedangkan YONO muncul dengan pendekatan yang lebih terukur dan berkelanjutan. Penganut YONO didorong untuk membuat pilihan yang bijaksana, baik dalam hal konsumsi materi maupun pengambilan keputusan hidup.
Ada perbedaan mendasar antara kedua filosofi ini. Pengikut YOLO umumnya menghabiskan uang demi kepuasaan sesaat dan mengabaikan perencanaan keuangan jangka panjang, sedangkan penganut YONO sebaliknya. Mereka cenderung berinvestasi pada barang berkualitas yang tahan lama dan mengalokasikan sumber daya mereka dengan lebih strategis.
Dalam hal dampak lingkungan, kedua filosofi ini juga memiliki dampak yang kontras. Jika gaya hidup YOLO sering kali menghasilkan jejak karbon yang lebih besar karena pola konsumsi yang tidak terkendali dan kurangnya pertimbangan terhadap dampak lingkungan, maka tren YONO, dengan penekanannya pada konsumsi minimal dan berkelanjutan, cenderung menghasilkan dampak lingkungan yang jauh lebih kecil.
SEE ALSO:
Pengamat psikososial dan budaya Endang Mariani menuturkan, tren YONO bisa memberikan dampak positif maupun negatif. Dengan menganut tren ini, menurut Endang, budaya konsumtif yang selama ini dilakukan banyak orang bisa berkurang. Dengan demikian, orang bisa lebih berhemat dan mengurangi belanja impulsif.
Masyarakat yang mengalami stres finansial juga berkurang, sehingga akan meningkatkan kesejahteraan mental.
“Kita tidak lagi mengejar tren dan ambisius untuk memamerkan harta, tetapi menumbuhkan solidaritas sosial,” jelasnya.
Hal ini dapat mengurangi kecemburuan sosial yang sering muncul, akibat kesenjangan gaya hidup, terutama ketika seseorang merasa tertinggal dalam mengejar tren. Dengan itu, masyarakat akan cenderung lebih menghargai keberadaan satu sama lain, dibandingkan sekadar mengejar materi.

Namun di sisi lain ada potensi dampak negatif jika tren YONO dilakukan bersama-sama dalam jangka waktu yang lama. Filosofi ini berpotensi membuat brand-brand mengurangi produksi barang, karena masyarakat tidak lagi konsumtif. Peredaran uang juga, kata Endang, bisa turun dan melemahkan pertumbuhan ekonomi.
“Dampak positif dan negatif pasti ada, tergantung bagaimana kita memanajemennya. Bagaimana kita bisa mengubah dampak negatif menjadi positif,” pungkasnya.