Bagikan:

JAKARTA - Industri pariwisata dan perhotelan menjadi sektor yang merasakan dampak besar dari pandemi COVID-19, di mana pembatasan aktivitas mulai dari PSBB hingga PPKM membuat okupansi atau tingkat keterisian kamar hotel anjlok. Bahkan, menyentuh single digit.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sangat memberatkan pelaku usaha di sektor industri perhotelan. Namun, ia tak menampik bahwa pembatasan memang diperlukan untuk mencegah penyebaran virus yang masif.

Meski begitu, kata dia, kebijakan pembatasan yang dilakukan pemerintah tidak berjalan optimal. Kasus positif COVID-19 di Tanah Air terus bertambah, sementara ekonominya tertekan.

"Karena kebijakan itu kan semuanya menahan pergerakan. Di sisi lain hotel dan restoran itu sangat membutuhkan adanya pergerakan. Ditambah lagi dengan adanya pembatasan jam ini juga mempengaruhi traffic konsumen untuk bergerak," tuturnya, saat dihubungi VOI, Kamis, 4 Februari.

Lebih lanjut, kata dia, tingkat keterisian kamar makin tertekan dengan kebijakan perjalanan yang diterapkan pemerintah. Dia menyebutkan syarat masa berlaku tes rapid antigen selama 2 x 24 jam membuat masyarakat akan mempertimbangkan perjalanan karena ada biaya tambahan yang harus dikeluarkan.

"Belum lagi masalah testing untuk menggunakan pesawat udara yang sekarang cuma dikasih batas waktu 2 hari," tuturnya.

Hotel gulung tikar dan dijual

Kata Yusran, pandemi COVID-19 yang sudah berlangsung 12 bulan membuat industri perhotelan tak mampu lagi bertahan. Saat ini, industri tersebut berada di ambang kebangkrutan. Bahkan, sudah ada yang gulung tikar. Sebagian memutuskan untuk menjual hotelnya.

Puluhan hotel dan restoran di Yogyakarta resmi tutup lantaran tak kuat menahan gempuran biaya operasional setiap bulan. Total sudah ada 50 hotel dan restoran yang tutup selama pemberlakukan PPKM jilid I dan II.

Sementara di Jakarta, muncul fenomena menjual hotel melalui marketplace. Penjualan hotel-hotel di Jakarta saat pandemi COVID-19 dilakukan sebagai solusi menghindari kerugian yang lebih dalam. Pasalnya, biaya operasional hotel dan pembayaran kredit tetap berjalan, sementara pendapatannya tidak ada.

Hotel Le Meridien Jakarta. (Foto: Trivago)

"Kalau ditanya kenapa mereka jual apakah karena ada tekanan? Jadi begini hotel dan restoran itu kan ini sudah masuk bulan ke-12, ya mereka sama sekali tidak bisa bangkit. Jangankan bicara untuk bangkit, bertahan saja susah," tuturnya.

Hotel yang dijual di antaranya adalah Hotel Le Meridien di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat, dijual seharga Rp. 2,7 triliun oleh akun Best Properties Indonesia di OLX. Iklan penjualan Hotel Le Meridien juga ada di beberapa marketplace lainnya. 

Kemudian, Hotel Ibis Budget Jakarta, Tanah Abang, Jakarta Pusat, dijual Rp. 85 miliar. Hotel Ibis Budget Jakarta dijual oleh akun Aldila Aspan pada 1 Februari 2021.

Okupansi anjlok sentuh single digit

Yusran mengatakan dampak negatif dari pandemi dan pembatasan kegiatan masyarakat bukan hanya dirasakan hotel-hotel yang berada di Pulau Jawa tetapi sudah di seluruh Indonesia. Ditambah lagi, sekarang adalah low season.

"Inilah yang membuat napas daripada pelaku usaha itu memang tidak bisa bertahan, karena ini bukan 2 atau 3 bulan ini dan ini sudah masuk ke-12 bulan," ucapnya.

Kata dia, berbagai hotel di seluruh daerah sudah mengalami penurunan keterisian kamar. Menurut dia, harus diketahui pemerintah dan publik bahwa kondisi yang dialami sektor perhotelan tidak gampang.

"Di daerah itu okupansi turunnya drastis lagi. Sekarang sudah turun jadi masuk ke single digit lagi 10 persen ke bawah. Sudah mulai di berbagai daerah, di Sumatera, Pulau Jawa. Sudah masuk kan tidak ada kegiatannya," jelasnya.

Bahkan, kata Yusran, kondisi terburuk akan dialami industri perhotelan jika pembatasan kegiatan masyarakat masih diberlakukan. Sebab, sektor ini akan memasuki kondisi yang sama pada saat pandemi pertama kali hadir di Tanah Air.

"Ini akan terjadi dalamnya seperti Maret dan April tahun lalu. Tapi kondisi Maret dan April tahun lalu mereka masih punya cash rizer, masih memiliki uang untuk bertahan. Kalau sekarang mereka dalam kondisi tidak punya uang ditambah puasa (adanya pembatasan) lagi," jelasnya.

Turunnya tingkat hunian dan kegiatan yang ada di hotel secara drastis membuat perhotelan harus melakukan perampingan karyawan. Jika kondisi ini tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah secara serius, maka tentu PHK massal tidak terhindarkan lagi.

Insentif harus dilanjutkan

PHRI, kata Yusran, meminta pemerintah meneruskan sejumlah insentif bagi sektor pariwisata, khususnya perhotelan saat Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa-Bali pada 26 Januari hingga 8 Februari 2021.

Yusran mengatakan insentif yang perlu dilanjut adalah pemberian dana hibah bagi sektor pariwisata seperti yang diterapkan pada 2020. Pada kebijakan itu, pemerintah memberikan dana hibah dengan total Rp. 3,3 triliun kepada pengusaha di 10 destinasi pariwisata prioritas dan 5 destinasi super prioritas.

Namun, kata dia, satu catatan terhadap insentif hibah. Menurutnya, pemerintah pusat seharusnya bisa memikirkan agar kebijakan yang bagus ini turut mendapat dukungan dari pemerintah daerah.

Ilustrasi. (Foto: Unsplash)

Caranya, dengan menghapus sementara atau mengurangi kewajiban pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi hotel dan restoran yang terdampak. Dengan begitu, dampak insentif benar-benar terasa.

"Kalau dapat hibah tapi bayar PBB, kan sama saja. Kalau di pemerintah daerah, kebijakannya membatasi tapi tidak membantu pengusaha, pajak daerahnya tetap ditarik, ini kendala utama. Bagaimana mau bayar PBB, 12 bulan tidak ada pemasukan," tuturnya.

Selain hibah pariwisata, Maulana mengungkapkan insentif yang juga perlu dilanjut agar menjadi bantalan bagi pengusaha di sektor pariwisata saat PSBB Jawa Bali adalah relaksasi tarif listrik PLN, restrukturisasi kredit bank, hingga bantuan bagi tenaga kerja di sektor ini.