JAKARTA – Tidak semua bisnis waralaba Food and Beverage (F&B) mengalami masa sulit saat ini. Tengok brand F&B yang mengusung konsep dessert, justru kian berkembang pesat meski dalam kondisi pandemi sekalipun.
Contohnya Mixue Ice Cream & Tea. Brand asal China ini terus laris manis di pasar Indonesia. Banyak para pemilik modal yang kepincut untuk bisa mengambil keuntungan lebih dengan menjadi franchisee.
Sejak muncul kali pertama pada 2020 di Cihampelas Walk, Bandung, jumlah gerai Mixue terus bertambah, kabarnya sudah lebih dari 317 gerai saat ini.
Mixue, menurut CEO Top Coach Indonesia Tom MC Ifle, memang memiliki keunikan. Secara brand, berdasar data Momentum Work pada 2021. Mixue sudah menempati posisi ke-5 sebagai perusahaan F&B terbesar di dunia dengan total 21.582 gerai.
Pencapaian itu tentu bukan dalam sekejap. Founder Mixue, Zhang Hongchao sudah merancang bisnisnya sejak awal tahun 2000-an. Ketika bisnisnya semakin berkembang, sekiranya pada 2007, Hongchao mulai menjalin kerjasama dengan sejumlah mitra untuk mengelola kegiatan produksi bisnis dari hulu hingga hilir, termasuk bahan baku es krimnya.
Mixue Bingcheng mengurus operasi dan manajemen, Henan Daka Food mengurus riset dan produksi, dan Shangdao Intelligent Supply mengurus logistik dan pergudangan. Henan Daka Food seperti dilansir dari katadata, mengoperasikan lima pabrik dengan luas lebih dari 50 ribu meter persegi yang telah menerapkan sistem otomatis secara keseluruhan.
“Pabrik-pabrik inilah yang mampu menekan biaya produksi bahan baku, sehingga harga pokok penjualannya menjadi sangat rendah dan sangat disukai oleh franchisee,” kata Tom, seperti dilansir dari kanal YouTube Tom MC Ifle pada 9 Februari lalu.
Pasar yang Luas
Secara pasar, juga sangat besar. Di Indonesia es krim tergolong jajanan kekinian, favorit untuk anak-anak maupun kalangan dewasa. Pada 2021 saja penjualan es krim dan frozen dessert retail di Indonesia bisa mencapai 425juta dolar Amerika Serikat menurut data Euromonitor.
Apalagi, kata Tom, Mixue hadir dengan konsep produk es krim yang berbeda. Memiliki banyak varian rasa dan topping tetapi dengan harga terjangkau.
Di negara asalnya, strategi harga jual itu terbukti jitu mengangkat popularitas Mixue. Bila es krim lazimnya dijual seharga 10 yuan, maka es krim buatan Hongchao hanya dijual dengan harga 2 hingga 3 yuan, tergantung varian apa yang dipesan.
“Itu menjadi poin penting dalam bisnis. Mixue mampu mengembangkan inovasi produk yang unik dan menarik berbeda dari es krim pada umumnya, sehingga punya ciri khas,” tuturnya.
Promosi yang dilakukan juga gencar dan sesuai dengan perkembangan zaman. Mengandalkan media sosial lewat foto-foto menarik, video, dan testimoni dari konsumen atau influencer.
“Begitu pula packaging, menarik, unik, dan menunjukkan brand sehingga customer mudah mengingat. Jadi, banyak faktor yang membuat Mixue bisa berkembang pesat di Indonesia,” ucap Tom.
Belum lagi terkait pengelolaan operasional. Menurut Tom, tidak perlu mencari karyawan dengan kemampuan luar biasa untuk mengoperasikan gerai es krim.
Meski harga franchise Mixue tergolong tinggi hingga Rp800 juta. Namun, bila merujuk data omset beberapa cabang, periode Break Even Point (BEP) terbilang cepat.
Besaran omset tergantung lokasi gerai. Seperti Mixue cabang Pangkalan Jati bisa Rp6-10 juta per hari. Mixue cabang Teluknaga mencapai Rp15 juta per hari seperti informasi yang viral di media sosial beberapa waktu lalu. Ada pula cabang Mixue yang hanya Rp20-an juta per bulan.
“Investasi yang terhitung cepat balik modal, banyaknya variasi yang ditawarkan, mudah untuk dikembangkan, trending, harga jual lebih terjangkau untuk banyak kalangan, ini adalah kenapa bisnis es krim begitu diminati,” Tom menuturkan.
BACA JUGA:
Mixue telah mengantongi sertfikasi halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ketetapan halal produk Mixue Ice Cream & Tea telah diterbitkan MUI pada Rabu, 15 Februari 2023.
Apakah dengan sertifikasi tersebut, gerai Mixue akan lebih menjamur? Atau justru sebaliknya, tergilas persaingan dari produk-produk baru yang terus bermunculan.
“Namanya bisnis pasti ada hambatan, persaingan, apalagi kalau bisnis berkembang cepat, musuhnya pasti banyak,” imbuh Tom.