Kondisi Ketenagakerjaan Indonesia Tidak Dalam Kondisi Baik
Ilustrasi – Pemerintah harus segera mengambil langkah strategis guna menghadapi gelombang PHK agar daya beli masyarakat terjaga. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA – Sejumlah sektor usaha, khususnya di bidang teknologi dan usaha manufaktur masih melakukan penyesuaian menghadapi situasi pasar yang belum juga kondusif. Terutama terkait pelemahan ekspor, melonjaknya biaya produksi dan operasional, serta perubahan pola konsumsi masyarakat pascapandemi.

Sehingga dari sisi bisnis, efisiensi merupakan hal yang mau tak mau harus dilakukan untuk menjaga arus keuangan perusahaan.

Itulah mengapa, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meyakini kondisi ketenagakerjaan di Indonesia tengah dalam kondisi tidak baik. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang terjadi sepanjang 2022 kemungkinan besar terus berlanjut pada 2023.

“Indikatornya jelas, pada Agustus 2022 saja menurut data BPS, terdapat pengurangan jumlah tenaga kerja dalam industri tekstil dari 1,13 juta menjadi 1,08 juta tenaga kerja. Sama halnya di sektor startup, setidaknya ada 20 perusahaan yang tersebar di sektor fintech, ecommerce, dan agritech yang melaporkan PHK,” katanya kepada VOI pada 22 Februari 2023.

Sampai saat ini pun, perusahaan-perusahaan tersebut belum sepenuhnya pulih. Masih terus berjaga-jaga mengantisipasi masa-masa yang penuh ketidakpastian.

Ini, kata Bhima, merupakan permasalahan serius. Pemerintah harus mengambil langkah antisipasi, terutama untuk menjaga daya beli masyarakat kelas menengah bawah. Bila tidak, ekonomi Indonesia akan sangat rentan terhadap tekanan eksternal.

Gelombang PHK melanda industri padat karya akibat penurunan drastis nilai ekspor. (Antara/Raisan Al Farisi)

Kementerian Tenaga Kerja menyebut ada 12.935 tenaga kerja yang terdampak PHK sepanjang Januari-November 2022. Namun, bila melihat data pencairan BPJS Ketenagakerjaan sudah ada 919 ribu orang yang mencairkan JHT karena klaim PHK pada periode yang sama.

“Serap korban PHK di sektor digital untuk membantu percepatan digitalisasi BUMN. Aktifkan kembali balai latihan kerja dan fasilitasi kerjasama dengan pelaku usaha yang tengah lakukan ekspansi,” ucapnya.

Selain itu, pemerintah sebaiknya melanjutkan Bantuan Subsidi Upah (BSU) guna mencegah efisiensi karyawan berlanjut di sektor tekstil pakaian jadi dan alas kaki.

“Yang harus diperhatikan pula, anggaran pusat dan daerah punya dampak signifikan dalam penciptaan lapangan kerja, apalagi sedang banyak proyek infrastruktur dan stimulus UKM yang direncanakan. Kuncinya adalah percepatan serapan anggaran, sebisa mungkin awal tahun sudah mulai terserap,” jelas Bhima.

Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher pun mengingatkan pemerintah segera melakukan langkah mitigasi yang konkret. Mencari alternatif tujuan ekspor dan meningkatkan pasar dalam negeri. Sebab, menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), telah terjadi penurunan agregat permintaan ekspor produk padat karya hingga 30-50 persen, khususnya permintaan dari negara-negara maju.

Optimalkan APBN dan APBD untuk menstimulasi pembelian produk dalam negeri agar terjadi kenaikan permintaan. Maksimalkan juga penggunaan produk UMKM untuk kebutuhan dalam negeri sehingga memicu peningkatan kebutuhan tenaga kerja.

“Anggaran negara harus dikelola dengan baik sebagai instrumen yang membuat ekonomi dapat bergerak dan tumbuh sehingga badai PHK dapat diminimalkan,” ucapnya seperti yang diberitakan VOI pada 20 Februari lalu.

Faktor Pendorong PHK

Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga dalam opininya bertajuk ‘PHK dan Tekanan Kemiskinan Mengancam Pekerja’ menjabarkan sejumlah faktor yang mendorong terjadinya gelombang PHK yang kian masif di Indonesia.

Pertama berkaitan dengan proses efisiensi kerja yang distimulasikan oleh perkembangan dan penggunaan teknologi dalam proses produksi. Di era persaingan usaha yang makin kompetitif, sejumlah perusahaan mau tidak mau harus melakukan penghematan melalui transfer pemanfaatan teknologi, yang ujung-ujungnya berdampak atau memaksa adanya efisiensi karyawan.

“Dibandingkan pekerja yang berisiko menganggu kelancaran proses produksi karena terkadang melakukan aksi demo, penggunaan teknologi bukan saja dinilai lebih efisiensi, tetapi juga lebih menjamin kepastian kelangsungan produksi,” tulisnya.

Kedua, karena perubahan pasar. Seperti yang terjadi dengan sejumlah usaha rintisan. Perusahaan melakukan rekruitmen pekerja dalam jumlah besar dan dalam tempo yang cepat. Ketika pasar goyah, dengan cepat pula mereka melakukan pengurangan karyawan.

Ketiga, karena perkembangan jenis usaha yang lebih banyak mengandalkan funding tanpa kapan tahu harus bisa menghasilkan keuntungan demi kelangsungan bisnis. Perusahaan yang mengandalkan suntikan modal seperti perusahaan rintisan memiliki fondasi sangat rapuh ketika harus mencari keuntungan.

Sejumlah perusahaan rintisan seperti JD.ID sempat melakukan dua kali PHK karyawannya. Namun, kondisi tidak lagi memungkinkan bertahan hingga akhirnya memutuskan untuk menutup total usaha pada 31 Maret 2023. (Antara)

Sehingga, kata Bagong, fenomena PHK karyawan di usaha rintisan akan terus terjadi sepanjang mereka tidak mengandalkan kemampuan menembus pasar.

Kondisi perekonomian dan pasar global yang tidak menentu, menyebabkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia bukan tidak mungkin akan masuk pada situasi kegelapan yang tidak menentu.

Ketika angka pengangguran tinggi, hal itu akan menjadi faktor yang meningkatkan risiko meluasnya kemiskinan dan berkontribusi pada ketimpangan.

Berdasar data Badan Pusat statistik (BPS), jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang pada Agustus 2022, porsinya 5,86 persen dari total angkatan kerja nasional. Pengangguran paling banyak berasal dari kelompok usia 20-24 tahun, yakni 2,54 juta orang. Angka ini setara 30,12 persen dari total pengangguran nasional.