JAKARTA – Para kader mengapa saya harus turun gunung menghadapi Pemilu 2024 mendatang. Saya mendengar, mengetahui bahwa ada tanda-tanda Pemilu 2024 bisa tidak jujur dan tidak adil. Konon akan diatur dalam Pemilihan Presiden nanti yang hanya diinginkan oleh mereka 2 pasangan Capres dan Cawapres saja. Yang dikehendaki oleh mereka.
Informasinya Demokrat sebagai oposisi jangan harap bisa mengajukan Capres-Cawapresnya sendiri bersama koalisi tentunya. Jahat bukan, menginjak-injak hak rakyat bukan? Pikiran seperti itu batil.
Pidato Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat Rapimnas Partai Demokrat pada Jumat 16 September 2020 di Jakarta Convention Center menuai polemik.
Partai penguasa pemerintahan saat ini, PDI Perjuangan langsung merespon keras.
“Memang kapan Pak SBY naik gunung? Setahu saya beliau tidak pernah lagi naik gunung,” sindir Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto melalui keterangan tertulisnya kepada media, Sabtu (17/9).
“Monggo turun gunung, tapi kalau turun gunungnya mau menyebarkan fitnah kepada Pak Jokowi, maka PDI Perjuangan akan naik gunung agar bisa melihat jelas apa yang dilakukan oleh Pak SBY,” lanjut Hasto.
Menurut Hasto, tudingan SBY tersebut sangat tidak tepat. Tidak ada korelasi antara upaya yang tengah dilakukan SBY untuk mencalonkan putra sulungnya sebagai Capres atau Cawapres dengan pemerintahan Jokowi saat ini.
“Tidak ada skenario pemerintahan Pak Jokowi untuk berbuat jahat dalam Pemilu,” ucapnya.
Hasto justru menyebut SBY lah yang melakukan skema kecurangan pada Pilpres 2009 ketika menjabat presiden dan kembali mencalonkan diri. Lihat kenaikan jumlah suara sebesar 300 persen secara tiba-tiba. Lalu, ketika tidak berkuasa, jumlah suara menurun drastis.
“Buktinya dari daftar pemilih tetap yang dimanipulasi dalam jumlah masif di Pacitan. Ada yang bisa menunjukan berbagai skema kecurangan pada saat Pemilu 2009 kalau memang mau didalami lagi," ucap Hasto.
“Mohon maaf Pak SBY tidak bijak dalam catatan kualitas Pemilu, tahun 2009 justru menjadi puncak kecurangan yang terjadi dalam sejarah demokrasi," Hasto menambahkan.
Konflik Personal
Memang bukan rahasia lagi, perseteruan politik kedua partai sebenarnya berawal dari konflik personal antara SBY dan Megawati Soekarnoputri. Tepatnya ketika SBY masih menjabat sebagai Menko Polkam Kabinet Gotong Royong era pemerintahan Presiden Megawati pada 2001.
Selain melaksanakan tugasnya sebagai menteri, SBY ‘diam-diam’ juga ikut bergabung mendirikan Partai Demokrat pada 2001. Namun, SBY tidak pernah mengungkapkan terang-terangan keterlibatannya di Partai Demokrat kepada presiden.
Megawati, dalam acara Mata Najwa pada 22 Januari 2014, mengatakan pernah meminta para menterinya yang juga menjabat sebagai ketua umum partai rapat membahas surat dari KPU terkait ada tidaknya menteri Kabinet Gotong Royong yang ikut berkompetisi dalam Pilpres 2024.
“Saya tanya satu-satu. Kalau Pak Hamzah mengatakan meskipun saya ketua umum, tapi belum mendapat perintah dari partai. Sehingga, saya belum tahu akan ikut dan membuat jadwal. Pak Yusril (Ketua Umum PKB) begitu, sampai kepada Pak Susilo,” ungkap Megawati.
Namun, ketika bertanya ke SBY, Megawati izin ke toilet dan meminta wakilnya, Hamzah Haz meneruskan pertanyaan. “Jadi, waktu saya kembali Pak Hamzah mengatakan sudah selesai Bu, semuanya sudah ditanya.”
Menurut Megawati, Hamzah Haz menanyakan kepada SBY posisinya di Partai Demokrat. Jika bukan sebagai ketua umum, apakah SBY akan ikut berkampanye, terlebih SBY baru mendirikan Partai Demokrat. Namun, SBY menjawab itu hanya rumor media.
“Jadi dengan begitu saya berkesimpulan beliau tidak memberikan jawaban yang pasti,” tuturnya.
Itulah salah satu faktor yang menjadi penyebab kerenggangan hubungan Megawati dan SBY. Kabarnya, Presiden Megawati bahkan sampai mengurangi keterlibatan SBY dalam beberapa kegiatan kabinet yang menyangkut masalah politik dan keamanan.
Hingga akhirnya, pada 11 Maret 2004 atau sebelum masa kampanye Pemilu 2004, SBY memilih mengundurkan diri sebagai menteri karena merasa kewenangannya telah diambil-alih oleh Presiden.
SBY juga tidak pernah menceritakan gamblang terkait permasalahannya dengan Megawati. Namun, dia mengakui hubungannya dengan Megawati memang tidak harmonis.
"Hubungan saya dengan Ibu Megawati, saya harus jujur, memang belum pulih, masih ada jarak," kata SBY kepada awak media pada 25 Juli 2018.
Sepanjang SBY menjabat presiden selama 10 tahun, Megawati tidak pernah hadir dalam perayaan Hari Kemerdekaan RI di Istana Negara. Putri sang proklamator Soekarno lebih memilih memimpin upacara di kantor DPP PDI Perjuangan, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
SBY pun bersikap sama. Setelah lengser, pada 2015 dan 2016, atau setelah PDI Perjuangan berkuasa, SBY lebih memilih merayakan Hari Kemerdekaan RI di kampung halamannya, Pacitan, Jawa Timur. Baru pada 17 Agustus 2017, keduanya reuni di Istana Negara.
Menjadi Oposisi
Sekiranya dalam empat Pemilu terakhir, Partai Demokrat dan PDI Perjuangan memang selalu berseberangan tanpa pernah sekalipun berkoalisi. Saat SBY terpilih sebagai Presiden pada 2004-2014, partai berlambang banteng moncong putih lebih memilih berada di luar kabinet.
Meski kalah dalam dua kali Pilpres, tetapi PDIP sempat unggul dalam perolehan kursi di parlemen dari Partai Demokrat pada 2004.
Begitupun ketika PDI Perjuangan menjadi partai penguasa pada 2014-2024. Partai Demokrat, kata SBY, lebih memilih bersikap sebagai oposisi meski Presiden Jokowi sudah beberapa kali mengajak masuk ke koalisi pemerintahan.
"Ada hambatan bagi Demokrat untuk berada dalam koalisi. Sungguh pun saya benar-benar merasakan kesungguhan Pak Jokowi untuk mengajak kami, tetapi saya mengetahui tanpa harus saya sampaikan dari mana sumbernya, memang tidak terbuka jalan bagi Demokrat untuk berkoalisi dengan beliau," ucap Susilo Bambang Yudhoyono.