Bagikan:

JAKARTA - Pandemi COVID-19 membuat otoritas mengerahkan segala upaya untuk membersihkan banyak tempat. Mulai dari kediaman pribadi sampai tempat publik, semua hampir tak luput dari disinfektan. Sayangnya, banyak orang lupa bahwa virus ternyata lebih cepat menyebar lewat udara.

Di rumah, jamak kita temui orang-orang kerap menyemprotkan cairan disinfektan mulai dari gerbang rumah mereka. Kita juga jadi lebih rajin membersihkan benda yang sering kita sentuh, seperti meja, kursi, bahkan ponsel yang sulit lepas dari tangan kita, sekarang lebih sering dilap menggunakan tisu basah.

Belum lagi di kantor-kantor. Di tempat kami bekerja saja, sebelum masuk ke ruangan, tangan dan sepatu wajib disemprot cairan disinfektan. Jangan tanya soal kursi, meja, dan perangkat kerja lain yang setiap hari wajib disemprot cairan anti bakteri.

Kebiasaan bebersih tersebut kini sudah mengglobal. Salah satu tempat yang kelihatan begitu rajin bersih-bersih yakni di bandara Hong Kong. Tim pembersih kerap menyemprot troli, tombol lift, dan konter check-in dengan larutan antimikroba. Sementara di New York, pekerja terus-menerus mendisinfeksi permukaan bus dan kereta bawah tanah. 

Namun, para ilmuwan yang dikutip The New York Times, menjelaskan bahwa tidak ada bukti permukaan yang terkontaminasi dapat menyebarkan virus, kalau pun ada, hanya sebagian kecil. Mereka mencontohkan, dalam ruangan yang padat seperti bandara, virus yang diembuskan oleh orang yang terinfeksi justru ancaman yang jauh lebih besar.

Memang, mencuci tangan dengan sabun dan air selama 20 detik, masih menjadi cara ampuh membendung virus corona baru. Tapi, menggosok permukaan tak banyak mengurangi ancaman virus di dalam ruangan. Para ilmuwan itu menyarankan alih-alih banyak menggosok permukaan, lebih baik ventilasi dan penyaring udara di dalam ruangan lebih ditingkatkan.

“Menurut pendapat saya, banyak waktu, energi, dan uang yang terbuang untuk disinfeksi permukaan dan, yang lebih penting, mengalihkan perhatian dari pencegahan penularan melalui udara,” kata Dr. Kevin P. Fennelly, spesialis infeksi pernapasan seperti dikutip The Times.

Beberapa ahli tersebut mengambil Hong Kong sebagai studi kasusnya. Wilayah yang dipadati 7,5 juta penduduk dan punya sejarah panjang wabah penyakit ini menjadi salah satu contoh timbulnya rasa aman palsu tentang COVID-19 karena sering dilakukan pembersihan. 

Studi menemukan bahwa virus bertahan di beberapa permukaan, termasuk plastik dan baja, hingga tiga hari. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menekankan penularan di permukaan sebagai risiko dan mengatakan bahwa penyebaran melalui udara menjadi perhatian hanya jika petugas kesehatan dilibatkan dalam prosedur medis tertentu yang menghasilkan aerosol.

Bahaya di udara

Penelitian ilmiah soal penyebaran COVID-19 terus berkembang. Yang terbaru, mereka menemukan bahwa virus dapat bertahan berjam-jam di udara yang tidak bergerak, menginfeksi orang saat mereka menghirupnya. 

Pada Juli, sebuah esai di jurnal medis The Lancet menyatakan bahwa beberapa ilmuwan membesar-besarkan risiko infeksi COVID-19 dari permukaan tanpa mempertimbangkan bukti dari studi yang terkait erat, termasuk SARS-CoV, pendorong epidemi SARS pada 2002-2003.

“Ini adalah bukti yang sangat kuat bahwa setidaknya untuk virus SARS, transmisi fomite paling sedikit,” kata penulis esai tersebut, ahli mikrobiologi Emanuel Goldman dari Universitas Rutgers. “Tidak ada alasan untuk mengharapkan bahwa kerabat dekat SARS-CoV-2 akan berperilaku berbeda secara signifikan dalam eksperimen semacam ini,” tambahnya.

Beberapa hari setelah esai tersebut muncul, lebih dari 200 ilmuwan mengunjungi WHO untuk menyampaikan bahwa virus corona dapat menyebar melalui udara di lingkungan dalam ruangan mana pun. Tunduk pada tekanan publik yang sangat besar atas masalah ini, WHO lalu mengakui bahwa transmisi aerosol dalam ruangan dapat menyebabkan wabah di tempat-tempat dalam ruangan yang berventilasi buruk seperti restoran, klub malam, kantor, dan tempat ibadah.

Namun paranoia tentang menyentuh apa pun mulai dari pegangan tangan hingga tas belanjaan telah terlanjur terjadi. Naluri untuk menggosok permukaan sebagai tindakan pencegahan COVID-19 sudah tertanam kuat.

Meskipun sudah diingatkan bahwa penularan utama COVID-19 adalah melalui droplet yang tersebar di udara, namun hal tersebut justru yang kurang diperhatikan. Awalnya, para pejabat mengharuskan restoran Hong Kong memasang pemisah di antara meja, yang pada dasarnya juga tidak berguna. Tetapi otoritas Hong Kong secara bertahap mulai mengurangi pembatasan termasuk mengizinkan pesta pernikahan hingga 50 orang, ada ketakutan akan potensi wabah baru di dalam ruangan.

"Orang-orang melepas masker saat makan siang atau ketika mereka kembali ke bilik mereka karena mereka menganggap bilik mereka adalah tempat pribadi mereka," kata Yeung King-lun, seorang profesor teknik kimia dan biologi di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong. “Tapi ingat: Udara yang Anda hirup pada dasarnya bersifat komunal.”

Kasus COVID-19 di Hong Kong memang tidak separah negara lain, yaitu sekitar lebih dari 5.400 kasus dan 108 kematian. Namun beberapa ahli mengatakan masih lambat untuk mengatasi risiko transmisi droplet dalam ruangan.