Silau Duit Narkoba di Mata Oknum Polisi
Polisi menunjukkan barang bukti sabu-sabu di Polda Jawa Barat, Kota Bandung (Foto: Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Keterlibatan aparat kepolisian dalam bisnis narkotika menyiratkan mundurnya upaya untuk mengatasi peredaran gelap narkotika. Mirisnya, kasus seperti ini bukan kali pertama terjadi. Ini menjadi seperti menggantang anak ayam, artinya pekerjaan yang sia-sia. Wajar saja, karena upaya mengentaskan peredaran gelap narkotika tak menyentuh sampai ke akar. Padahal, duit narkoba begitu menyilaukan banyak oknum polisi.

Beberapa hari lalu, kehebohan terjadi saat salah seorang perwira menengah kepolisian berpangkat Kompol, tersangkut kasus penyelundupan narkotika jenis sabu di Pekanbaru, Riau. Barang yang diselundupkan pun tak tanggung, yakni 16 kilogram.

Orang itu adalah Kompol Imam Zaidi Zaid (55), seorang polisi yang punya jabatan Kepala Seksi Identifikasi Direktorat Reserse Kriminal Umum di Polda Riau. Menurut Direktur Reserse Narkoba Polda Riau Kombes Victor Siagian yang diwartakan Detik, Imam bersekongkol dengan jaringan narkoba internasional berinisial HW dan HR. HW sudah tertangkap bersama dengan Imam, sedangkan HR masih buron.

Penangkapannya pun sempat membuat gempar warga di sekitar Jalan Parit Indah, karena ada aksi kejar-kejaran tim pengejar Polda Riau dengan tersangka. Sebelum berhasil ditangkap, tersangka sempat menabrak mobil warga. Karena melawan, Imam harus merasakan timah panas menembus bagian tubuhnya.

Catatan panjang

Keterlibatan oknum polisi dalam kasus narkotika memang bukan barang baru. Pada tahun lalu saja, menurut Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri yang dikutip Bisnis, tercatat ada 515 kasus oknum polisi yang terlibat kasus narkoba. Jumlah itu meningkat dari tahun 2018 yang tercatat sebanyak 364 kasus.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti menduga latar belakang keterlibatan oknum polisi dalam bisnis narkotika adalah karena uang. Untuk mengejar itu "yang bersangkutan memanfaatkan posisi dan kewenangannya sebagai anggota kepolisian," kata Poengky saat dihubungi VOI

Tentu saja tindakan itu tak dapat dibenarkan dan harus ditindak tegas. Poengky menjelaskan hukuman keras yang pantas terkait keterlibatan anggota kepolisian dalam jaringan narkoba yakni "langsung dipecat dan diproses pidana," ujarnya. Sebagai contoh, pada tahun ini Pengadilan Negeri Depok dan Dumai menjatuhkan hukuman kepada polisi yang terbukti terlibat dalam jaringan narkoba. 

Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Muhammad Afif Abdul Qoyim mengamini dugaan Poengky bahwa alasan oknum polisi terlibat dalam bisnis narkotika adalah karena ada keuntungan finansial. "Potensi finansial yang begitu besar menggoda aparat untuk terlibat di dalamnya," kata Afif kepada VOI

Kata Afif, kebanyakan aparat yang terlibat dalam bisnis ini memang mengetahui potensi keuntungan bukan cuma dari finansial tapi juga kekuasaan. Apalagi, aparat kata Afif memang orang yang punya akses dan mengetahui celah. 

"Misalnya ada yang kenal dengan oknum perwira polisi, bisa saja dia disuap. Kan tidak menutup kemungkinan. Karena sistem peradilan kita masih korup," kata Afif.  

Tak diatasi sampai akar

Lebih lanjut Afif menjelaskan mengapa praktik ini masih jamak ditemui. Menurutnya persoalan peredaran gelap narkotika hanya diatasi kulitnya saja. Namun akar persoalannya, yakni pasar peredaran gelap narkotika masih belum tersentuh negara.

Afif mengkritik cara-cara negara mengatasi persoalan narkotika yang menurutnya hanya menyentuh bagian luarnya saja. Misalnya saja, persoalan ini lebih banyak ditindak dengan menggunakan law enforcement seperti penangkapan maupun rehabilitasi. 

Cara-cara penangkapan seperti itu kata Afif kurang efektif. Pun misalnya, dari satu kasus penangkapan narkoba dikembangkan, "Paling hanya satu sampai dua jaringan yang terungkap," ujarnya.

Padahal, menurut Afif, akar permasalahannya ada di pasar gelap tempat narkotika itu beredar. Ia menduga kenapa persoalan ini tak tersentuh, adalah karena pasar gelap berpotensi untuk dimanfaatkan. "Karena negara tau ada persoalan kongkalikong, melihat ada keuntungan finansial yang tidak tercatat," katanya.

Untuk itu ia menerangkan banyak teori yang bisa diterapkan untuk mengatasi persoalan peredaran narkotika di pasar gelap. Salah satunya adalah mengizinkan penggunaan narkotika untuk medis dalam jumlah kecil. 

"Berdasarkan teori supply and demand, ketika pasar gelap ini diatur, supply nya mendapatkan pasokan dari pasar yang diatur oleh negara, para pemasok yang mengambil keuntungan dari pasar gelap, akan berfikir dua kali karena sudah enggak ada harganya lagi. Selain itu, apabila negara mengatur penggunaan narkotika dalam jumlah terbatas, maka negara akan bisa mengontrol penggunaannya," beber Afif.