JAKARTA - China memperkuat kontrol sensornya atas publikasi agama Kristen yang disetujui untuk didistribusikan negara. Partai Komunis China melarang banyak buku atau bacaan yang berkaitan dengan agama yang dianggap subversif. Namun beberapa kelompok Kristen dapat mendistribusikan literatur agama yang memenuhi persyaratan sensor negara.
Namun, baru-baru ini, menurut China Aid --sebuah LSM Kristen yang berfokus pada peningkatan kesadaran akan kebebasan beragama di China-- sensor telah mulai menghapus kata 'Kristus' dan 'Yesus' dari beberapa publikasi, termasuk di jaringan media sosial. Kata-kata tersebut diganti dengan inisial huruf 'JD' dan 'YS'.
Para penulis lainnya mengatakan penulis yang menganut Kristen mungkin juga mengganti kata-kata tersebut secara sukarela. Mereka mencoba menghindari sensor daring yang mungkin menghalangi terjangkaunya pembaca daring.
Mengutip Voice of America, Rabu, 21 Oktober, kontrol otoritas China atas agama lebih dari sekadar menyensor publikasi keagamaan. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi peningkatan jumlah gereja dan salib besar yang dibongkar negara karena diduga melanggar peraturan. Xu Yonghai, seorang pendeta di sebuah gereja di Beijing mengatakan sejak 2014 Partai Komunis China telah menargetkan gereja-gereja yang disetujui pemerintah.
“Selama masa jabatan mantan Presiden Jiang Zemin, semua gereja resmi adalah asisten partai dan tidak pernah berada di bawah tekanan. Tapi sejak 2014 pemerintah mulai membatasi gereja bawah tanah dan gereja resmi,” katanya, seraya menambahkan bahwa ini menunjukkan China memperketat kontrol agama dan mendorong komunisme.
Sementara itu, diketahui bahwa Vatikan melanjutkan keterlibatannya dengan Partai Komunis China. Bulan ini Vatikan mengkonfirmasi bahwa Takhta Suci telah menyetujui kesepakatan dengan China tentang sebuah proses, yang dirahasiakan, untuk menyetujui para uskup dari negara itu.
Vatikan membela langkah yang diperlukan untuk menumbuhkan gereja di sana. Namun di China, ada umat Katolik yang keberatan.
Zhang, seorang penganut Katolik di Provinsi Yunan barat daya China mengatakan bahwa itu adalah pengkhianatan dari pihak paus. Dia percaya negosiasi dan kompromi tentang hal-hal suci seperti pengangkatan uskup dengan Partai Komunis China adalah dosa. Sementara Pendeta Xu berkata bahwa dia memahami dilema yang dihadapi Vatikan.
Pengetatan haji dan pembangunan ulang kuil
China juga dikecam habis-habisan karena tindakan represifnya terhadap Muslim di Provinsi Xinjiang. Setidaknya satu juta orang Uighur ditahan di kamp-kamp pemerintah. Tapi tindakan keras terhadap Muslim melampaui tindakan keras di Xinjiang.
Bulan ini Beijing mengumumkan aturan yang lebih ketat untuk semua Muslim di China yang ingin mengunjungi Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji atau umrah. Administrasi Urusan Agama Nasional mengeluarkan seperangkat aturan baru yang menyatakan bahwa semua perjalanan ke Arab Saudi harus diatur oleh Asosiasi Islam China.
Organisasi tersebut dikendalikan oleh lengan jangkauan internasional partai komunis, United Front Work Department. Ibadah haji yang dilakukan secara pribadi tidak diperbolehkan.
BACA JUGA:
Aturan tersebut menyatakan "asosiasi harus mendidik peserta haji tentang perilaku patriotik, memperkuat manajemen peserta, dan mencegah infiltrasi pemikiran dan perilaku ekstremis agama yang membahayakan keamanan nasional."
Selain itu, beberapa kuil tradisional juga tersapu oleh promosi ateisme PKC. Publikasi yang berbasis di Italia Bitter Winter, sebuah majalah daring yang berfokus pada kebebasan beragama dan hak asasi manusia di China, melaporkan bahwa di Kota Linzhou, Provinsi Henan, lebih dari 90 kuil telah dihancurkan dan lebih dari seratus kuil dibangun kembali dalam sebulan.
Kuil kepercayaan rakyat ini diubah menjadi pusat aktivitas lansia, sekolah malam petani, dan pusat layanan sukarelawan. Tindakan untuk meluruskan tempat kepercayaan rakyat dianggap sebagai tanda pencapaian politik pemerintah daerah.
Langkah pemerintah China mengontrol agama di negaranya sejatinya telah tercium sejak Desember 2019 lalu. Kala itu China dikabarkan akan merevisi semua kitab suci agama di negara tersebut. Namun, kabar itu menguap hingga upaya kontrol nyata ditemukan dalam beberapa waktu belakangan.