JAKARTA - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengingatkan adanya potensi bencana alam akibat tingginya curah hujan pada akhir 2021 dan awal 2022.
Dwikorita menyampaikan kondisi curah, hujan diprakirakan terjadi mulai November, Desember 2021, dan berlanjut pada Januari dan Februari 2022.
BMKG menyebut wilayah Indonesia memiliki kondisi cuaca dipengaruhi interaksi benua Asia dan Australia sehingga perubahan cuaca di luar siklus bisa terjadi seketika dan mendadak.
"Artinya perkiraan itu bisa tiba-tiba berubah, karena ada sesuatu yang tiba-tiba berubah di tempat lain," kata Dwikorita dalam pelatihan kebencanaan bertema "La Nina, Fenomena dan Dampaknya", yang digelar DPP PDI Perjuangan, dikutip Antara, Rabu, 27 Oktober.
Dwikorita mencontohkan kejadian banjir Jabodetabek pada Januari 2020 itu sebetulnya sudah terdeteksi seminggu sebelumnya. Namun kemudian intensitas hujan melampaui apa yang diperkirakan.
Mantan Dekan di UGM ini pun menegaskan pesan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri tentang anomali suhu air laut adalah fakta yang terjadi.
BACA JUGA:
Sebab BMKG telah melakukan monitoring satelit permukaan air laut di Pasifik saat ini lebih dingin dari normalnya.
Sebaliknya, suhu permukaan air laut di kepulauan Indonesia lebih hangat dari biasanya. Ini menyebabkan tekanan udara di wilayah Pasifik lebih tinggi, dan Indonesia lebih rendah tekanan udaranya.
"Curah hujan yang harusnya turun dicicil dalam satu bulan, tapi karena pengaruh fenomena regional dan seruak udara, akhirnya volume curah hujan yang mestinya sebulan bisa turun dalam 24 jam," kata Dwikorita.
Karena itu, sangat penting memahami bencana itu terjadi karena lingkungan.
"Bagaimana tidak banjir kalau semua penuh dengan aspal dan beton, pohon-pohon ditebang, sehingga peresapan air yang seketika itu menjadi terhambat. Inilah yang mengakibatkan bencana apabila hujan lebat dalam beberapa jam, dan lingkungan tidak bisa seketika meresap karena kerusakan alam. Maka penghijauan menjaga kelestarian lingkungan sangat-sangat tepat untuk mengurangi risiko ketidakmampuan lingkungan untuk segera meresapkan air yang datang seketika," papar Dwikorita.