Bagikan:

JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Lili Pintauli tengah bergerak untuk menyuarakan pencegahan tindak rasuah di Nusa Tenggara Timur (NTT). Dia bahkan menyuarakan tentang penyalahgunaan wewenang walaupun dirinya pernah dinyatakan melanggar etik dan dijatuhi sanksi berat oleh Dewan Pengawas KPK atas tindakan serupa.

Lili Pintauli menyinggung soal penyalahgunaan wewenang yang kerap dilakukan pejabat karena diboncengi pihak tertentu yang ingin mendapat keuntungan. Hal ini disampaikannya saat berbicara di hadapan seluruh kepala daerah, unsur Forkompimda PLN wilayah regional Nustra, Maluku, Papua; dan perwakilan Kementerian ATR/BPN wilayah Provinsi NTT pada Senin, 25 Oktober kemarin.

Awalnya, Lili meminta para kepala daerah di provinsi itu untuk mewaspadai titik rawan korupsi yang kerap membuat para pejabat jatuh ke jurang tindak pidana rasuah.

"Modus korupsi kepala daerah tidak jauh dari suap dan gratifikasi dalam pemberian izin, jual beli jabatan serta kickback dalam pengadaan," katanya dalam acara tersebut seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, Selasa, 26 Oktober.

Sehingga, dia mengingatkan kepala daerah jika musuh mereka sebenarnya adalah diri sendiri yang memanfaatkan jabatan dan orang di sekitar yang mendompleng untuk mendapat kesempatan memperkaya diri dengan cara ilegal.

"Musuh kita siapa? Diri kita sendiri dan orang-orang di sekeliling kita yang memanfaatkan posisi kita," ungkapnya.

Lebih lanjut, Lili kemudian meminta para kepala daerah untuk menetapkan kebijakan daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat.

Cara ini, sambungnya, diyakini membuat para kepala daerah dapat menjalankan roda pemerintahan secara akuntabel dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan mencegah mereka dari jeratan kasus korupsi. Apalagi, sejak 2004 lalu sudah ada ratusan pemimpin daerah di Tanah Air yang terjerat rasuah dengan berbagai modus.

"Tercatat 152 kepala daerah merupakan pelaku korupsi berdasarkan data penanganan perkara KPK tahun 2004 hingga 31 Maret 2021," jelasnya.

Lili boleh saja mengingatkan perihal penyalahgunaan wewenang agar para pejabat daerah tak terjerat dalam kasus korupsi. Namun, dia sebenarnya juga pernah melakukan hal yang sama yaitu memanfaatkan jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK hingga akhirnya dijatuhi sanksi berat berupa pemotongan gaji pokok sebesar 40 persen selama setahun.

Penjatuhan sanski ini dilakukan setelah dia menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadinya dan terbukti berhubungan langsung dengan mantan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial yang terjerat kasus suap jual beli jabatan.

"Mengadili dan menyatakan terperiksa Lili Pintauli Siregar bersalah melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku berupa penyalahgunaan pengaruh selaku Pimpinan KPK untuk kepentingan pribadi dan berhubungan dengan pihak yang perkaranya sedang ditangani," kata Ketua Majelis Sidang Etik Tumpak Hatorangan dalam persidangan yang digelar secara daring, Senin, 30 Agustus.

Dalam sidang itu, terungkap bagaimana perkenalan antara Lili dan M Syahrial yang berujung pada pelanggaran etik. Anggota Majelis Sidang Etik Harjono mengatakan perkenalan keduanya terjadi pada Februari-Maret 2020.

Saat itu, Lili bertemu dengan Syahrial dalam penerbangan dari Medan menuju Jakarta dan mereka sempat berswafoto atau selfie bersama.

Dari pertemuan itu, Lili diketahui sempat menanyakan perihal pembayaran uang jasa pengabdian adik iparnya, Ruri Prihatini Lubis yang bekerja di PDAM Tirta Kualo Tanjungbalai. Setelah perbincangan tersebut, Syahrial kemudian berinisiatif untuk meminta nomor handphone mantan Komisioner LPSK tersebut.

Setelah bertukar nomor handphone, Syahrial kemudian menghubungi Lili untuk menginformasikan pembayaran uang jasa berjumlah Rp53.334.640 yang dicicil sebanyak tiga kali. Berikutnya, komunikasi kembali terjadi pada Juli 2020.

Ketika itu, Lili menghubungi M Syahrial karena namanya ada dalam berkas korupsi jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai. "Terperiksa menghubungi M Syahrial pada saat terperiksa melihat berkas jual beli jabatan atas nama saksi M Syahrial di atas mejanya dengan mengatakan 'ini ada namamu di mejaku, bikin malu, Rp200 juta masih kau ambil'. M syarial menjawab dengan mengatakan 'itu perkara lama bu tolong dibantulah'," kata Harjono.

"Lalu terperiksa menjawab 'banyak berdoalah kau'," tambahnya.

Hanya saja, Sekretaris Pimpinan dan Pimpinan KPK lainnya ternyata tidak pernah menerima ataupun membaca berkas atau catatan terkait kasus jual beli jabatan yang menjerat M Syahrial.

Kemudian, pada Oktober 2020, Syahrial kembali menghubungi Lili dan memintanya agar membantu penanganan kasus dugaan korupsi. Adapun komunikasi ini dilakukan setelah penyidik melakukan penggeledahan di Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara.

Dalam komunikasi itulah Lili kemudian meminta Syahrial menghubungi Arif Aceh, seorang pengacara dari Medan untuk membantunya.

"Terperiksa menyarankan agar Syahrial menghubungi seorang pengacara di Medan dengan mengatakan, 'ya udah ini nomor Arif Aceh, komunikasilah dengan dia'," ujar Harjono.

Meski saat itu Dewan Pengawas KPK menyatakan dia bersalah melanggar etik namun Lili Lili tak menyampaikan penyesalan atau permintaan maaf atas perbuatan yang dilakukan. Ia hanya mengucapkan terima kasih setelah persidangan ditutup.

"Terima kasih, pak," kata Lili seperti dikutip dari persidangan yang digelar secara daring.

"Demikian ibu, ada yang mau disampaikan?" tanya Tumpak mengakhiri persidangan.

"Terima kasih, pak," ungkap mantan Komisioner Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tersebut.

Pernyataan serupa juga disampaikannya di luar ruang sidang. Namun, Lili menambahkan tetap menerima putusan yang telah dijatuhkan pada dirinya.

"Saya menerima tanggapan Dewas. Saya terima, tidak ada upaya lain," tegasnya.