Bagikan:

JAKARTA - Tinggalan berciri megalitik (kebudayaan zaman batu besar) dengan keberagaman bentuk dan fungsi yang ditemukan oleh arkeolog di Pulau Halmahera, Tidore dan Moti, Provinsi Maluku Utara (Malut) berkaitan dengan konsep pemujaan terhadap leluhur.

"Terdapat keberagaman bentuk dan fungsi temuan berciri megalitik di Maluku Utara, semuanya dilandasi oleh konsep pemujaan leluhur," kata Arkeolog Marlyn Salhuteru dari Balai Arkeologi Maluku, dilansir Antara, Selasa, 26 Oktober.

Ia mengatakan tinggalan berciri megalitik yang terdata di Provinsi Maluku Utara antara lain, altar batu, altar batu, lumpang batu, lesung batu, batu asah, batu dakon, batu berhias, batu berlubang dan batu bergores, dan jere (istilah lokal untuk menyebut tempat keramat) yang direpresentasikan dengan menhir, bongkahan batu utuh, makam dan pohon-pohon besar.

Tinggalan-tinggalan tersebut berkaitan dengan konsep pemujaan terhadap leluhur, tersebar di 15 area dan kampung lama atau pemukiman kuno di Pulau Halmahera, Tidore dan Moti.

Marlyn mencontohkan altar batu di kampung adat Gurabunga. Altar batu dari batu-batu alam berbentuk pipih atau lempengan berukuran kurang lebih 55x50 centimeter itu difungsikan oleh masyarakat setempat sebagai sarana ritual adat.

Berada di belakang rumah adat Fola Jiko Sarabi, kampung adat Gurabunga merupakan pemukiman kuno yang secara administrasi termasuk dalam wilayah Desa Gurabunga, Kecamatan Tidore, Kota Tidore Kepulauan. Di masa lalu kawasan ini termasuk dalam daerah kekuasaan Kesultanan Tidore.

"Jaringan megalitik yang telah terdata terdapat di Pulau Halmahera, Tidore dan Pulau Moti. Kurangnya penelitian megalitik di wilayah Maluku Utara menyebabkan pemahaman kita tentang budaya megalitik di Maluku Utara masih sangat terbatas," ucap dia.

Lebih lanjut dikatakannya, Maluku Utara merupakan wilayah kepulauan yang tergolong dalam zona Wallacea. Provinsi itu dan wilayah kepulauan sekitarnya yang lebih kecil telah memainkan peranan penting dalam sejarah Nusantara dan global sejak zaman prasejarah hingga jaman munculnya kerajaan modern.

Pulau Halmahera, ujar Marlyn, sangat potensial sebagai rute dan jembatan budaya megalitik Nusantara dan Asia Tenggara.

Karena itu, ia bersama lima arkeolog lainnya dari Balai Arkeologi Maluku, yakni Lucas Wattimena, Karyamantha Surbakti, Muhammad Al Mujabhuddawat, Irfan Ahmad dan Godlief Arsthen Peseletehaha pada 2020 meneliti berbagai tinggalan megalitik di Provinsi Maluku Utara.

Riset saat pandemi COVID-19 tersebut dilakukan dengan metode studi pustaka, mempelajari laporan penelitian Balai Arkeologi Maluku, buku, naskah dan sejumlah publikasi ilmiah, seperti jurnal, buletin dan lainnya, kemudian studi kartografi dan diskusi grup terfokus.

"Sebagai kawasan kepulauan strategis dengan sumber daya alam dan etnografi yang luar biasa, sudah sepatutnya kita mendapatkan informasi masa lalu dari kawasan ini," katanya.