Bagikan:

JAKARTA - Aubertin Walter Sothern (A.W.S.) Mallaby tak pernah menyangka, kehadirannya di Tanah Surabaya pada 25 Oktober 1945 merupakan perang terakhirnya. Ia pun tak pernah membayangkan, kota tersebut bakal menjadi tempat peristirahatan abadinya. 

Mallaby adalah Brigadir Jenderal Inggris yang memimpin pasukan Punjab 49 yang bermarkas di wilayah jajahannya di India bagian utara. Purnatugas di India, Mallaby sebenarnya ingin pulang ke kampung halamannya di Inggris. 

Tapi, pada tahun 1944, Mallaby dirayu pemerintah Inggris untuk memimpin perang sekali lagi dan berjanji setelah itu dibebastugaskan. 

Mallaby akhirnya menurut dan ikut dalam Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI), pasukan sekutu yang dikirim ke Indonesia setelah selesainya Perang Dunia II. Ternyata benar, perjalanan ini adalah perang terakhir Mallaby. Ia tewas lima hari setelah pasukannya menginjakan kaki di Surabaya. 

Warga Surabaya meminta pertolongan kepada Soekarno dan Mohammad Harta untuk melakukan perundingan kepada sekutu agar perang tak lagi terjadi.  Akhirnya, Soekarno dan sekutu masing-masing sepakat untuk melakukan gencatan senjata. Mereka pun tak lagi berperang. 

Tapi, sekutu lebih dulu menyebar kabar bahwa Indonesia yang harus lebih dulu meletakkan senjata. Arek suroboyo tak terima. Mereka menganggap bisa saja Inggris menguasai Surabaya.

Sekali pun sudah diumumkan genjatan senjata, di beberapa tempat masih terjadi pertempuran. Insiden baku tembak mengakibatkan tewasnya Mallaby, di Jembatan Merah, Surabaya. 

Penyebab tewasnya Mallaby masih menjadi misteri. Ada beberapa versi atas kematiannya, salah satunya menyebut mobil yang ditumpangi Mallaby terbakar terkena ledakan granat. 

Ada juga yang mengatakan tertusuk bayonet dan bambu runcing atau tertembak pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tidak diketahui identitasnya. Ledakan granat membuat penyebab kematian Mallaby sulit diungkap.

Kematian Mallaby dianggap memicu terjadinya peperangan lebih besar lagi. Mayor Jenderal E.C. Mansergh, pengganti Mallaby, mengeluarkan ultimatum kepada pasukan Indonesia di Surabaya pada 9 November 1945 untuk menyerahkan senjata tanpa syarat. 

Sehari kemudian pecahlah Pertempuran 10 November lantaran pihak Indonesia tidak menghiraukan ultimatum ini.