JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, pemerintah perlu memprioritaskan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam pemulihan ekonomi. Hal ini karena sektor UMKM bisa memberikan efek berganda atau multiplier effect kepada masyarakat, termasuk dalam menciptakan permintaan.
Ekonomi senior Indef Enny Sri Hartati mengatakan, insentif bagi sektor UMKM juga harusnya diberikan lebih besar dibandingkan korporasi berskala besar. Sebab, jika bicara sejarah UMKM pada krisis yang lalu pun terbukti memberikan manfaat untuk pemulihan ekonomi nasional.
"Benar-benar mempunyai manfaat ekonomi yang konkret. Makanya, saya kenapa (berharap) lebih fokus ke UMKM," ujarnya, dalam video conference bersama wartawan, Kamis, 18 Juni.
Di sisi lain, Enny justru menyoroti anggaran yang dikeluarkan pemerintah dalam program pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk membantu BUMN. Apalagi, jumlahnya mengalami kenaikan. Ia menilai, hal ini kurang efektif.
Lebih lanjut, Enny mengatakan, anggaran tersebut berpotensi digunakan untuk hal yang tak semestinya, seperti membayar utang perusahaan BUMN yang telah jatuh tempo. Salah satu contohnya yakni stimulus untuk PT Krakatau Steel. Perusahaan ini dianggap tak memiliki banyak manfaat. Sehingga, pemberian stimulus apalagi di kala pagebluk menjadi tidak efisien.
Menurut Enny, anggaran yang tak sedikit dan bersumber dari APBN ini seharusnya bisa dimaksimalkan pada sektor kesehatan dan untuk mendongkrak ekonomi masyarakat. Apalagi, pemberian stimulus ini juga telah menyebabkan defisit yang lebih lebar pada APBN 2020.
BACA JUGA:
"Persoalannya ini justru semakin meyakinkan kepada publik bahwa enggak ada penanganan COVID-19 yang benar-benar," tuturnya.
Enny menilai pemerintah tidak berpihak kepada UMKM. Hal ini tercermin dari pemberian insentif pajak atau PPh final yang ditanggung pemerintah untuk UMKM lebih kecil yakni Rp2,4 triliun dibandingkan insentif pajak non-UMKM Rp121,6 triliun.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Suryani Motik mengatakan, UMKM dan sektor informal yang biasanya menjadi penggerak ekonomi saat paling tahan terhadap krisis, kali ini menjadi sektor yang paling terdampak karena tidak bisa beroperasi saat ada kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Padahal 115 juta tenaga kerja ada di sektor UMKM, dan 97 persen serapan nasional. Ketua komunitas warteg nusantara (Kowantara) bilang walaupun warteg tetap buka tetapi mengalami penurunan 50 persen. Kenapa? Karena orang takut untuk belanja di warteg," tuturnya.
Suryani mengatakan, kebersihan menjadi penyebab utama masyarakat enggan membeli makanan di warteg. Sebab, orang bebas keluar dan masuk ke dalam untuk memilih makanan.
"Kemudian, sebanyak 63 koperasi dan umkm atau 6 persen menyatakan mengalami kesulitan bahan baku. PHK massal UMKM sudah pasti, yang jualan di pinggir jalan juga terhambat saat PSBB," ucapnya.