MK Atur Jeda 5 Tahun Bagi Eks Koruptor untuk <i>Nyalon</i> Pilkada
Wakil Ketua Komisi II DPR Arif Wibowo (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan gugatan uji materi UU Pilkada, terkait pencalonan mantan narapidana dalam pemilu kepala daerah. MK memutuskan eks narapidana baru bisa mencalonkan diri di pilkada setelah melewati lima tahun masa hukumannya berakhir. 

Wakil Ketua Komisi II Arif Wibowo mengatakan, putusan MK terkait jeda waktu lima tahun setelah keluar penjara sudah cukup tepat. Dirinya menilai putusan MK telah menyangkut soal hak asasi manusia (HAM) dalam bidang politik. 

"Itulah putusan MK kita. Kan tidak mungkin tentang putusan MK putusan MK itu setara dengan undang-undang," katanya, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 11 Desember.

Menurut Arif, putusan MK soal jeda lima tahun bagi narapidana maupun eks koruptor sudah cukup jelas, agar tidak mengulang kesalahan yang pernah dilakukannya. Hal ini juga menjadi tugas bagi partai politik untuk menelusuri rekam jejak dari setiap calon yang diusungnya. 

"Maka kewajiban partai itu menelusuri setiap rekam jejak calon. Dan putusan MK itu putusan positif sejak dibacakan dan dinyatakan tidak berlaku," sambungnya.

Politisi PDIP ini juga memastikan partainya tidak akan mengusung mantan narapidana maupun eks koruptor, seusai putusan MK. "Kalau keputusannya berbunyi kaya gitu ya boleh," ucapnya.

Hal senada juga disampaikan, anggota Komisi II Sodik Mudjahid menilai putusan MK ini adalah jalan tengah yang baik dan bijak. Namun, tetap konstitusional. Sebab, sebelumnya tersapat dua kelompok yang berbeda pandangan mengenai hal ini.

"Gerindra patuh kepada konstitusi dan hukum termasuk putusan MK terbaru. Tapi tetap aspiratif yakni seperti sudah dinyatakan oleh Sekjen Gerindra Ahmad Muzani. Gerindra minta kepada DPC dan DPD se-Indonesia untuk tidak mencalonkan mantan narapidana dalam Pilkada," katanya.

Menurut Sodik, yang tidak kalah penting adalah KPU dan masyarakat terutama media memberikan pencerahan kepada masyarakat sebagai calon pemilih tentang latar belakang setiap kandidat sebelum pelaksanaan Pilkada

"Keputusan MK walaupun belum maksimal efek jeranya, tapi ada tambahan harapan munculnya efek jera. Tapi memang soal efek jera harus dilakukan secara simultan dalam berbagai bidang tidak hanya dalam Pilkada saja," jelasnya.

Dalam putusan MK, majelis hakim memastikan perubahan dilakukan terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf g Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota.

Revisi pasal itu mendetailkan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon kepala daerah. Selain mantan narapidana harus memiliki jeda lima tahun untuk dapat maju dalam pemilu, mantan napi yang akan maju juga bukan merupakan pelaku tindak pidana berulang. Pertimbangan waktu untuk adaptasi tersebut menurut hakim, disesuaikan dengan satu kali periode pemilihan umum.

Gedung Mahkamah Konstitusi (Irvan Meidianto/VOI)

Respon Positif Putusan MK

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan uji materi terkait batas waktu mantan napi untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Menurutnya hal ini menjadi kado istimewa dalam suasana peringatan hari antikorupsi internasional yang jatuh pada 9 Desember.

"Meski tidak mengakomodir semua permohonan kami. Putusan MK ini menjadi kado istimewa dalam suasana peringatan hari antikorupsi internasional dan Hak Asasi Manusia internasional," ujar Titi dalam keterangan tertulisnya.

Dengan adanya putusan ini, Perludem berharap Pilkada Serentak 2020 di 270 daerah benar-benar bisa menghadirkan calon yang bersih dan antikorupsi. Hal ini memungkinkan calon kepala daerah bisa berkonsentrasi membangun daerah secara maksimal, dengan perspektif pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan yang baik.

Meski begitu, Titi mengatakan hal harus diikuti oleh langkah ekstra oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU harus mengatur teknis pelaksanaan pilkada, sehingga pemilih bisa maksimal mendapatkan informasi atas rekam jejak calon, khususnya berkaitan dengan masalah hukum yang pernah dihadapi calon.

"Revisi peraturan ini penting segera dilakukan, agar mekanisme teknis pencalonan lebih pasti, khususnya bagi mantan terpidana yang akan menjadi calon. Selain itu, KPU perlu juga segera mensosialisasikan Peraturan KPU tersebut, yang sesuai dengan putusan MK," papar Titi.

Titi mengusulkan dua langkah yang bisa dilakukan KPU. Pertama, membuat pengaturan yang memungkinkan partai politik melakukan penggantian atas calon yang terkena OTT KPK dengan alasan calon tersebut berhalangan tetap. Kedua, terobosan pengaturan teknis dalam Peraturan KPU tentang Kampanye serta Peraturan KPU tentang Pemungutan dan Penghitungan suara di TPS.

Ia mengatakan langkah ini dilakukan untuk menerjemahkan lebih spesifik, konkret, dan menjangkau secara luas atas klausul "jujur dan terbuka", mengakui bahwa dirinya adalah mantan napi bagi para mantan napi yang dicalonkan di pilkada.

Selain itu dalam ketentuan PKPU tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara di TPS, kata Titi, juga perlu diatur tentang pengumuman soal status mantan napidana. Misalnya, dihukum atas perbuatan apa, berapa lama, dan kapan bebas murni yang ditempelkan di papan pengumuman masuk TPS yang memuat profil daftar riwayat hidup calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.

"Selama ini di setiap TPS selalu diumumkan profil calon yang berkontestasi di Pilkada. Namun KPU belum pernah mengatur soal pengumuman di TPS ini baik di pemilu legislatif maupun Pilkada," jelasnya.