Jejak Politik Kejam <i>Bro</i>! Mustahil AHY dan Demokrat Gantikan Prabowo Subianto Sebagai Lokomotif Oposisi
Pegiat media sosial, Eko Kuntadhi (Tangkapan layar CokroTV)

Bagikan:

JAKARTA - Elite Partai Demokrat beberapa waktu belakangan ini gencar melakukan kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Mulai dari Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Ketua Fraksi Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) hingga Andi Arief. 

AHY mempertanyakan kemampuan pemerintahan Jokowi menyelamatkan rakyat dari pandemi yang menyerang hingga kini. Sementara Ibas, mengutarakan  kekhawatirannya menganai Indonesia menjadi negara gagal karena tidak mampu menyelamatkan rakyatnya dari COVID-19.

Pegiat Media Sosial Eko Kuntadhi 'mencium' maksud lain dibalik kritik yang dilontarkan kakak beradik ini. Demokrat ingin mengisi kursi oposisi yang ditinggalkan Prabowo Subianto karena bergabung bersama Jokowi saat ini.

Menurut Eko, posisi ini sangat menguntungkan. Berkaca pada keberhasilan Prabowo membawa Gerindra dua periode berturut-turut menjadi opisisi Jokowi telah terbukti menaikan pamor partai.

Jelas saja Prabowo dan Gerindra berbeda. Demokrat, menurut Eko, mempunyai rekam jejak abu-abu pada kancah politik nasional. Pada 2014 lalu, Demokrat tidak masuk dalam dua poros politik besar yang tengah 'bertarung' Prabowo dan Jokowi. 

"Demokrat dikenal sebagai partai yang abu-abu yang enggak dukung Jokowi tapi juga enggak dukung Prabowo. Sikapnya plin-plan, oposisi bukan partai penguasa juga enggak kebagian kursi," terang Eko dikutip VOI di kanal Youtub CokroTV, Rabu, 28 Juli. 

Pilihan menjadi partai jalan tengah tersebut ternyata tidak laku dengan melorotnya jumlah suara pada 2014 lalu. Jika pada Pilpres 2009 suara Demokrat mampu menyentuh angka 20 persen, maka di 2014 anjlok hingga 11 persen.

Demokrat sadar dengan mengambil posisi jalan tengah tidak menguntungkan suara partai secara nasional. Oleh karena itu pada 2019, Demokrat gencar menawarkan AHY ke dua poros yang bertarung, Prabowo dan Jokowi. Sayangnya langkah ini tidak berhasil. 

Prabowo dan gerindra meskipun kalah pada Pilpres tetap diakomodir Jokowi untuk masuk dalam kabinet. Keputusan Demokrat menjadi partai oposisi sebenarnya langkah yang cerdik karena bisa mendulang suara masyarakat yang anti pada Jokowi. 

"Tapi menjadi oposisi dengan pengalaman dulu keluarga Cikeas pernah berkuasa tentu enggak semudah itu saat mereka mengkritik kinerja Pak Jokowi. Misalnya orang dengan gampang langsung merujuk pada apa hasil pemerintahan SBY selama berkuasa," terang Eko. 

Saat mengkritik Jokowi mengenai kasus korupsi, maka publik akan dengan mudah membuka mega korupsi Hambalang di zaman SBY waktu memimpin. 

Artinya pilihan Demokrat jadi oposisi sementara keluarga Cikeas pernah berkuasa di Indonesia selama dua periode itu sama sekali tidak gampang. 

"Ketika mereka menuding pemerintahan Jokowi orang akan langsung membuka file lama sebab pada saat mereka berkuasa mereka juga enggak banyak prestasi," terang Eko.

Bila ingin menggantikan peran Prabowo sebagai lokomotif oposisi maka AHY dan Demokrat membutuhkan keseriusan yang tinggi. Kalau menggunakan pasukan di media sosial menyuarakan kritik jelas akan dibantah dengan prestasi apa yang pernah dilakukan SBY waktu memimpin Indonesia.