JAKARTA - Hasil sebuah penelitian di Prancis menyebut, perokok berisiko kecil terinfeksi virus Corona COVID-19. Dari hasil uji bercak nikotin pada pasien COVID-19 pada sebuah penelitian, nikotin dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi penyakit.
Chief of Part USAID Health Financing Acitivity (HFA) Profesor Hasbullah Thabrany, menyebutkan nikotin tidak bisa diklaim atau diyakini dapat melindungi tubuh dari infeksi atau paparan virus COVID-19. Menurutnya, perlu banyak penelitian yang menemukan hasil tersebut bisa divalidasi.
"Kalau mau melakukan penelitian berapa banyak hasil penelitian yang sama terkonfirmasi pernah dipublikasi. Kalau cuma satu, sementara ribuan penelitian lain berbeda masa kita percaya yang satu. Jadi itu yang paling penting. Ini kan yang bikin publikasi setahu saya di Prancis sana mau diangkat-angkat. Jadi segi ilmu kedokteran belum pernah ada berita nikotin mencegah infeksi," ujar Hasbullah kepada VOI, Selasa, 27 Juli.
Dia menegaskan, ribuan bahkan jutaan kajian yang sudah dikonfirmasi di seluruh dunia, nikotin itu menyebabkan kecanduan. Karena, senyawa tersebut menimbulkan reaksi mengeluarkan serotonin.
"Itu yang sudah valid. Bahwa ada penelitian hanya satu dua, bisa jadi itu hoaks saja. Saya tidak bisa meyakini hanya ada penelitian satu dua apalagi metodologinya belum teruji," tegasnya.
Hasbullah menerangkan, dalam ilmu kedokteran, metodelogi untuk menyatakan nikotin menyebabkan perlindungan terhadap virus harus diuji dengan metode randomized controlled trial (RCT).
"Apa itu RCT? Kalau ada dua grup itu masing-masing dikasih bahan untuk ngetes, misalnya nikotin ada dua grup masing-masing seribu orang. Yang satu dikasih nikotin, yang satu engga, dua duanya dikasih virus. Kemudian yang dikasih nikotin ternyata tidak terinfeksi bisa. Tapi mana yang dikasih nikotin mana yang engga itu secara random, nggak bisa dikenali, nggak boleh dipilih-dipilih, namanya blind random trial," terangnya.
"Kalau ada penelitian model begitu sudah diuji volumenya banyak, sehingga bisa kita percaya," sambungnya.
Namun, kata Hasbullah, dari pengalaman dan penelitian seluruh dunia, bahwa nikotin bisa menyebabkan perlindungan terhadap infeksi virus, tidak bisa dipercaya. Menurutnya, konsentrasi nikotin di dalam tubuh sangat rendah, apalagi diisap.
"Tapi saya percaya karena sudah mulai (coba, red) bahwa nikotin atau tembakau itu bisa melepaskan lintah yang nempel di kaki saya. Itu saya buktikan, lintahnya mabuk karena nikotin sudah pasti. Itu RCT 100 persen valid," sebutnya.
BACA JUGA:
Di Malang, sambungnya, profesor kimia juga mengatakan nikotin itu mencegah penyakit. Namun, hasil penelitian tersebut tidak bisa divalidasi.
"Nah, proses kimia belum pernah coba di uji manusia. Dia melihat struktur kimia nya. Ya kalau matiin virus saya kira ga usah jauh-jauh taruh saja virusnya di atas sendok, di bakar mati dia. Sekarang seluruh dunia aja belum nemuin obatnya (COVID-19)," kata Hasbullah.
Kemudian, terhadap orang yang kehilangan indera penciuman bisa ditangani dengan nikotin. Menurut Hasbullah, tergantung penyebab kehilangan penciuman.
Sebab, kata dia, flu atau pilek biasa pun bisa kehilangan indera penciuman karena sel-sel di dalam hidung tertutupi oleh lendir ingus sehingga tidak masuk. Begitu juga karena stroke atau gangguan syaraf penciuman.
"Kan syaraf sensor kalau rusak kehilangan dia penciumannya. Jadi dilihat penyebabnya apa. Secara medis logika berpikirnya. Sama kayak kita mau lihat rasa garam asin atau gak ya kita taruh dimakan dicobain, kalau konsisten asin ya kita bilang garam rasanya asin. Makanan macem-macem pun tetap asin," ujar Hasbullah.
Sebelumnya, hasil sebuah penelitian di Prancis menyebut, perokok berisiko kecil terinfeksi virus Corona COVID-19. Dari hasil uji bercak nikotin pada pasien COVID-19 pada sebuah penelitian. Hasilnya mengejutkan, nikotin dapat memberikan perlindungan terhadap infeksi penyakit.
Dikutip dari pubmed.ncbi.nlm.nih.gov, para peneliti di Paris menunjukkan perokok kurang terinfeksi virus dibandingkan orang lain dan bahwa nikotin dapat mencegah virus memasuki sel.
Profesor Penyakit Dalam, Zahir Amoura dan ahli Neuro Biologi, Zavier Sanche menemukan dalam studi pendahuluannya, A nicotinic hypothesis for COVID-19 with preventive and therapeutic implications, terhadap 480 pasien.
Hasilnya, dari seluruh pasien yang dirawat karena COVID-19 hanya 5 persennya yang perokok. "Kami menyadari bahwa tingkat perokok sangat rendah, sekitar 5 persen dari pasien COVID-19. Itu adalah langkah pertama," kata Amoura.
"Langkah kedua, ketika Anda mengetahui hal ini, Anda mencoba membandingkan, menilai dengan populasi umum untuk melihat apakah ada perbedaan nyata," jelas Amoura, yang juga Kepala Departemen Penyakit Dalam di Pusat Referensi Nasional Prancis untuk Eritematosus Lupus Sistemik di Rumah Sakit Pitie-Salpetriére ini.
"Dan untungnya di Prancis pada tahun 2018, kami memiliki penelitian yang dilakukan pada 10.000 orang pada populasi umum, kami melihat perbedaan yang sangat signifikan secara umum." lanjutnya.