Bagikan:

JAKARTA - Dunia penerbangan menjadi salah satu sektor yang terdampak buruk selama masa pagebluk COVID-19. Namun, dengan adanya aturan pola kehidupan baru, sektor penerbangan bisa kembali hidup. Tetapi, dengan catatan harus mengutamakan protokol kesehatan.

Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Penerbangan Indonesia (PERDOSPI), dr. Wawan Mulyawan memberi catatan hal yang harus diperhatikan ketika dunia peberbangan kembali dibuka. Salah satunya tentang aturan atau regulasi yang harus tegas dan jelas.

Sehingga, nantinya tidak ada kebingungan yang terjadi di masyarakat sebagai penumpang ataupun pihak pengelola maskapai penerbangan. Terlebih, penyebaran COVID-19 pun bisa diminimalisir.

"Untuk itu kajian-kajian ilmiah tentang langkah-langkah benar dalam penerapan new normal dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dunia penerbangan, harus dikedepankan demi kemaslahatan masyarakat, tanpa terburu-buru menerapkan aturan praktisnya," ucap Wawan dalam keterangannya, Senin, 8 Juni.

Dengan merujuk aturan atau kebijakan yang sudah dikeluarkan pemerintah selama ini, semisal Peraturan Presiden (PP) nomor 21 tahun 2020 tentang PSBB, Permenkes nomor 9 tahun 2020 tentang Pedoman PSBB, dan Permenhub nomor 18 tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran COVID-19, seharusnya bisa menjadi pedoman bagi para pengelola bandara mapun maskapai penerbangan untuk mencegah terjadinya penularan atau penyebaran.

Termasuk dengan menerapakan langkah-langkah konprehensif sesuai dengan Surat Edaran (SE) Dirjen Perhubungan Udara nomor 10 tahun 2020 tentang Pencegahan Penyebaran Covid-19 dalam Penerbangan.

"Pencegahan penularan virus Covid-19 di Bandar Udara dan Kabin Pesawat harus menjadi program utama dari seluruh otoritas penerbangan, dengan tetap mempertimbangkan landasan logis, efektifitas dan kemudahan pelaksanaannya di lapangan," papar Wawan.

Bahkan, jika melihat rekomendasi dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), aturan 'Collaborative Arrangement for Prevention and Management of Public Health Events in Civil Aviatiation' sudah dikeluarkan dengan tetap berpedoman kepada Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Hal ini berkaitan dengan menjaga kesahatan masyarakat sebagai pengguna transporsi udara dengan menerapkan prinsip clean crew, clean aircraft, clean airport facilities and transporting, clean passengers. Sehingga diharapkan tercapai status bebas COVID-19 pada sektor penerbangan.

Namun, tak hanya bagi pengelola bandara dan maskapai penerbangan, aturan yang sama juga harus disosialisasikan kepada masyatakat. Sebab, hal ini menjadi cara atau kunci dari kesuksesan pencegahan dan penularan COVID-19. Sehingga, ketika masyarakat menggunakan jasa penerbangan, mereka mengetahui apa yang boleh dan tidak untuk dilakukan pada pola kenormalan baru.

Tetapi, jika semua aturan dan rekomendasi itu tak dilakukan dengan baik, maka, yang terjadi adalah penyebaran COVID-19 semakin masif. Bahkan, tak menutup kemungkinan transportasi udara akan ditutup lagi selama masa pagebluk COVID-19 dan berujung pada kebangkrutan perusahaan penerbangan.

Padahal, kata Wawan, industri penerbangan merupakan investasi yang strategis dan patut untuk diprioritaskan agar tetap bertahan. Terlebih, industri penerbangan menyerap banyak tenaga kerja.

"Dunia penerbangan Indonesia sebagai salah satu industri jasa dengan investasi super mahal dan strategis, telah menjadi lingkungan bisnis yang paling awal mengalami kontraksi terdalam saat datangnya pandemi Covid-19 dan karenanya harus mendapat prioritas untuk diselamatkan dari collapse yang permanen," ungkap Wawan.

Rekomendasi

Dengan beberapa catatan tersebut, kata Wawan, pihaknya memberikan rekomendasi yang bisa diterapkan pada dunia penerbangan selama penerapan pola kehidupan baru di masa pagebluk COVID-19.

Pertama, pemerintah pusat harus menjadi pengendali utama dalam pengawasan kesehatan penumpang. Sehingga, tidak ada perbedaan antara kebijakan pusat dengan daerah.

"Tidak boleh ada penafsiran yang berbeda di lapangan akibat kebijakan pemerintah daerah yang diambil terkait skrining kesehatan calon penumpang di keberangkatan atau pun penumpang di kedatangan di bandara," kata Wawan.

Namun, bagi bandara yang dianggap belum mempuni untuk menyediakan fasilitas kesehatan bisa menggunakan cara menyerahkan kepada pengguna layanan atau masyarakat. Dengan melakukan cara tersebut dinilai lebih efektif dan tak memakan biaya yang besar.

Kedua, merekomendasi semua otoritas penerbangan untuk memaksimalkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara mensosialisasikan hal tersebut melalui para ahli kesehatan.

Ketiga, menggunakan sistem berbasis online pada sisi pemeriksaan dokumen kesehatan atau pun lainnya. Sehingga, bisa mengatasi terjadinya penumpukan dan bisa mengedepakan protokol kesehatan seperti menjaga jarak tubuh atau physical distancing.

Selanjutnya, terkait dengan tata ruang di bandara yang harus menerapkan atau mengedepankan konsep jaga jarak tubuh dan penyediaan hand sanitizer di beberapa titik. Kemudian, merekomendasi dalam hal penindakan protokol kesehatan di bandara yang harus dipetegas. Sehingga, potensi penularan pun bisa ditekan.

"Pihak keamanan bandara, aparat lainnya dibawah otoritas bandara dan Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) serta awak kabin, agar diberikan wewenang untuk melakukan tegoran dan penindakan sesuai aturan (protokol kesehatan) yang berlaku, termasuk penundaan pemberangkatan," tegas Wawan.

Rekomendasi keenam, lanjut Wawan, pihaknya kurang setuju dengan adanya pembatasan sebanyak 50 persen dari kapasitas pesawat. Sebab, dengan merujuk pola kehidupan baru pencegahan penyebaran bisa dilakukan dengan cara lain, semisal, menggunakan masker dan alat pelindung lainnya.

"Cara lain pengurangan resiko penularan adalah dengan menaikkan level proteksi APD, seperti penggunaan masker bedah 3-ply , penggunaan faceshield dan pembatasan pergerakan di dalam kabin," ungkap Wawan.

Sementara, untuk para petugas kabin, APD yang digunakan ditambah dengan sarung tangan serta pelindung wajah. Namun, harus tetap mengedepankan aspek keselamatan penerbangan.

Wawan melanjutkan, biaya pengadaan APD bagi para penumpang bisa dibebani langsung melalui harga tiket. Terakhir, dalam pola kenormalan baru lamanya proses check in dan boarding dianggap sebagai kewajaran dengan alasan proses skrining penumpang.

"Wajar jika proses check in dan boarding akan berjalan lebih lama, namun setidaknya maksimal waktu yang dapat ditoleransi adalah batas check in 2 jam sebelum jadwal keberangkatan pesawat domestik dan 3 jam sebelum keberangkatan pesawat internasional. Sedangkan untuk kedatangan maksimal lama penumpang tertahan di bandara karena proses skrining adalah 2 jam," tandas Wawan.