Bagikan:

JAKARTA - Berikut adalah rangkuman beberapa studi ilmiah mutakhir tentang virus corona baru dan upaya untuk menemukan pengobatan dan vaksin untuk COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh virus tersebut.

Polusi udara memperburuk COVID yang parah

Udara kotor berkontribusi pada keparahan COVID-19, menurut sebuah penelitian dari salah satu kota paling tercemar di Amerika. Para peneliti yang mempelajari 2.038 orang dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan COVID-19 di daerah Detroit menemukan bahwa mereka yang membutuhkan perawatan intensif dan mesin untuk membantu mereka bernapas lebih mungkin tinggal di lingkungan dengan tingkat polusi udara dan cat timbal yang lebih tinggi.

Semakin buruk kontaminasi udara lokal, semakin tinggi kemungkinan membutuhkan perawatan intensif dan ventilasi mekanis. Anita Shallal dari Rumah Sakit Henry Ford Detroit mengatakan paparan jangka panjang terhadap polusi udara dapat merusak sistem kekebalan dan membuatnya lebih rentan terhadap infeksi virus, sementara partikel halus dalam polusi udara juga dapat bertindak sebagai pembawa virus dan membantu penyebarannya.

Dilansir dari Antara, Selasa, 13 Juli, studi ini "menarik perhatian pada ketidaksetaraan sistemik yang mungkin menyebabkan perbedaan mencolok dalam hasil COVID-19 di sepanjang garis ras dan etnis," kata Shallal dalam sebuah pernyataan dari Kongres Mikrobiologi Klinis dan Penyakit Menular Eropa, di mana dia mempresentasikan temuannya pada Jumat.

"Komunitas kulit berwarna lebih mungkin berlokasi di daerah yang lebih dekat dengan polusi industri, dan bekerja di bisnis yang membuat mereka terpapar polusi udara."

Varian Beta dapat meningkatkan rawat inap dan kematian

Varian Beta virus corona mungkin lebih mematikan daripada versi virus aslinya, menurut para peneliti di Afrika Selatan yang mempelajari lebih dari 1,5 juta pasien COVID-19.

Meskipun varian Delta sekarang menyumbang persentase terbesar dari kasus baru COVID-19 di banyak negara, Beta masih beredar, dengan mutasi yang membuatnya sangat menular dan lebih sulit untuk dicegah atau diobati daripada versi aslinya.

Para peneliti menemukan bahwa orang yang terinfeksi pada gelombang kedua pandemi, ketika Beta dominan, lebih mungkin memerlukan rawat inap daripada mereka yang terinfeksi selama gelombang pertama, setelah memperhitungkan faktor risiko pasien dan beban rumah sakit yang berlebihan.

Selanjutnya, pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit memiliki risiko kematian 31 persen lebih tinggi pada gelombang kedua, menurut laporan yang diterbitkan Jumat di The Lancet Global Health.

Para peneliti tidak mengetahui varian yang menginfeksi setiap pasien, jadi mereka harus menggunakan periode gelombang pertama dan kedua sebagai proksi untuk tipe varian, salah satu penulis Dr. Waasila Jassat dari Institut Nasional untuk Penyakit Menular di Johannesburg mengatakan kepada Reuters.

"Kami berharap mengulangi analisis, membandingkan gelombang ketiga di Afrika Selatan dengan dua gelombang pertama, untuk mencoba memahami apakah gelombang Delta dikaitkan dengan risiko kematian yang lebih tinggi," katanya.

Vaksin mRNA bekerja dengan baik dalam telaah "dunia nyata" AS

Vaksin COVID-19 yang paling sering digunakan di Amerika Serikat efektif tidak hanya dalam uji klinis tetapi juga di "dunia nyata", menurut sebuah penelitian nasional. Menggunakan data sampel orang dewasa AS yang dirawat di rumah sakit antara Maret dan Mei 2021, para peneliti menemukan bahwa vaksin mRNA dari Pfizer/BioNTech dan dari Moderna "mencegah sekitar 87 persen rawat inap untuk COVID-19 yang akan terjadi jika vaksin tidak diberikan ," kata Dr. Wesley Self dari Vanderbilt University Medical Center.

Efektivitasnya serupa untuk kedua vaksin dan tertinggi - pada 97,3 persen - di antara orang dewasa berusia 18 hingga 49 tahun, timnya melaporkan dalam sebuah makalah yang diunggah Kamis di medRxiv menjelang tinjauan sejawat.

Di antara individu yang mengalami penurunan kekebalan, vaksin mencegah sekitar 59 persen rawat inap COVID-19,yang akan terjadi jika vaksin tak diberikan. Itu masih merupakan "manfaat substansial," kata Self, tetapi "karena perlindungannya tidak efektif untuk orang dengan penurunan kekebalan, kami percaya (mereka) masih harus mengambil tindakan pencegahan untuk menghindari tertular COVID-19 bahkan jika mereka telah divaksin," kata Self.