Muhammadiyah: Pemerintah Perlu Terapkan PSBB Pulau Jawa Selama 3 Minggu
Ilustrasi (Foto: Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Muhammadiyah COVID-19 Command Center (MCCC) PP Muhammadiyah menyerukan, pemerintah pusat dan daerah perlu menerapkan kembali kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti pada awal pandemi melanda Indonesia. Paling tidak, untuk seluruh provinsi di Pulau Jawa selama minimal 3 minggu.

Ketua MCCC PP Muhammadiyah, Arif Nur Kholis menuturkan, seruan tersebut merujuk pada situasi terkini pandemi COVID-19 di Indonesia. Di mana berdasarkan data pemerintah melalui website Covid19.go.id, terjadi peningkatan penambahan kasus harian yang sangat tinggi sejak bulan Maret 2020.

Mengutip sumber dari vaksin.kemkes.go.id, Arif merinci, pada tanggal 27 Juni 2021 mencapai 21.342 kasus COVID-19 dalam sehari yang tersebar pada 33 provinsi, sehingga total pasien yang terjangkit virus corona di Indonesia kini mencapai 2.115.304 orang terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada 2 Maret tahun lalu.

“Angka positif rate juga mengalami peningkatan tajam menjadi lebih 20 persen pada 16 provinsi di Indonesia,” ujarnya kepada wartawan, Rabu, 30 Juni.

Lebih lanjut, Arif memaparkan, ada lima provinsi dengan penambahan kasus baru COVID-19 tertinggi. Kelima provinsi itu yakni DKI Jakarta (9.394 kasus baru), Jawa Barat (3.988 kasus baru), Jawa Tengah (2.288 kasus baru), Jawa Timur (889 kasus baru), dan DIY (830 kasus baru).

Menurutnya, peningkatan jumlah kasus secara tajam mengakibatkan risiko kolapsnya fasilitas layanan kesehatan di Indonesia karena kurangnya ruang perawatan pasien COVID-19, kurangnya jumlah tenaga kesehatan dan kurangnya suplai logistik medis seperti oksigen. Lalu alat pengaman diri (APD) berserta obat-obatan yang diperlukan.

“Bed Occupancy Rate (BOR) rumah sakit untuk pasien covid sudah mencapai lebih 90 persen di sejumlah daerah.  Sementara fasilitas isolasi mandiri (komunal/pribadi) di luar fasyankes yang layak masih sangat terbatas,” tegasnya.

Keterbatasan fasilitas isolasi mandiri ini, kata Arif, menyebabkan banyaknya angka kunjungan ke rumah sakit, sementara RS tidak mampu menampung dan merawat pasien secara optimal.

"Banyak pasien harus menunggu di IGD dan bahkan banyak yang tidak bisa mendapat perawatan di rumah sakit karena rumah sakit sudah tidak bisa lagi menerima pasien Covid," katanya.

Dilain sisi, pemberlakukan PPKM Mikro tidak efektif menekan mobilitas warga baik yang masuk dari luar negeri maupun pindahan antar daerah. Seiring masuknya ke Indonesia varian baru (Alpha, Beta, dan Delta) dengan tingkat penularan yang sangat tinggi.

“Sementara ketaatan warga terhadap protokol kesehatan yang sangat rendah dan pencapaian vaksinasi COVID-19 yang masih sangat minim,” sambung Arif.

Karena itu, Arif menegaskan, kebijakan PSBB nantinya harus disertai penegakan hukum yang tidak tebang pilih, penindakan tegas kepada penyebar hoax dan jaminan sosial bagi warga terdampak secara ekonomi selama kebijakan tersebut diberlakukan.

Selain mendesak pemberlakuan kembali PSBB, MCCC PP Muhammadiyah juga mendesak pemerintah menjamin ketersediaan fasillitas layanan kesehatan untuk pasien COVID-19 dengan memastikan ketersediaan ruang perawatan di fasyankes, fasilitas isolasi pasien OTG di luar fasyankes, jaminan ketersediaan perangkat medis, alat pengaman diri, pasokan oksigen medis dan obat-obatan yang diperlukan.

“Pendirian rumah sakit darurat di berbagai daerah di jawa mendesak dilakukan untuk merespon banyaknya Rumah Sakit yang tidak mampu menerima pasien COVID-19 lagi karena penuh,” katanya.

MCCC PP Muhammadiyah juga meminta pemerintah bersama tokoh masyarakat, tokoh agama, ilmuwan dan media bersatu dalam menggerakkan solidaritas sosial bagi warga terdampak ekonomi kebijakan pembatasan mobilitas yang dilakukan dan menggerakkan ketaatan masyarakat pada penerapan protokol kesehatan.

“Termasuk menggerakkan kesadaran masyarakat untuk mengikuti vaksinasi dan meredam beredarnya informasi menyesatkan di kalangan masyarakat,” tutup Arif Nur Kholis.