Bagikan:

JAKARTA - Hidup sebagai pengungsi korban perang tentu tak mudah. Di DKI Jakarta, kota yang jadi episentrum penularan COVID-19 apalagi. Ini adalah kisah hidup 250 pengungsi yang sebagian besar berasal dari Afghanistan, Somalia dan Myanmar.

Kepanikan mulai dirasakan para penggungsi. Salah satunya ialah pengungsi dari Afganistan, Zakir Hussain. Ia saat ini menempati bangunan yang disediakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun, tentu saja, hidup itu jauh dari normal. Kepadatan di pengungsian membuat penularan rentan di sana.

Sebagaimana dilansir Channel News Asia, bangunan yang ditempati pengungsi memang benar dapat menampung hingga 1.100 orang. Tapi, dengan cuma 250 orang saja yang mengisi, bangunan telah padat sehingga menyulitkan untuk tetap menaati anjuran physical distancing.

"Jika satu orang sakit, maka yang lainnya akan menyusul karena tidak ada physical distancing, karena kita tidak bisa menjaga jarak. Bahkan, di sini ada lebih dari 200 orang,” ucap pria berusia 25 tahun tersebut.

Kondisi di atas juga semakin mengkhawatirkan karena di dalam bangunan hanya memiliki sebuah toilet dengan pasokan air dan listrik terbatas. Alhasil, para pengungsi mengalami masalah mencuci tangan dan membersihkan diri secara teratur. Padahal kebersihan adalah bagian dari perlawanan. "Kami putus asa," kata Zakir.

Tak hanya itu, makanan yang awalnya disuplai secara teratur oleh Pemprov DKI kini telah berhenti, bertepatan dengan tuntutan pemerintah supaya pengungsi mulai meninggalkan tempat itu paling lambat 31 Agustus tahun lalu. Sebagai pengganti, setiap keluarga diberikan dana sebanyak Rp1 Juta ketika itu.

Sayangnya, banyak yang tak menerima tawaran tersebut dengan alasan uang yang diberikan tak akan bertahan lama. Belum lagi, para pengungsi malah memiliki keinginan untuk dipindahkan ke negara maju, semisal Australia. Permintaan itu belum juga terlaksana.

Sulit beribadah

Di tengah kesusahan, sempat ada seorang pejabat Pemprov DKI Jakarta yang datang untuk mengunjungi pengungsi. Ia mendistribusikan bantuan berupa hand sanitizer. Saat itu ia juga menganjurkan pentingnya langkah-langkah pencegahan COVID-19.

Anjuran yang mudah dikatakan namun amat sulit dilakukan, begitu yang dirasa para pengungsi. Bukan cuma itu, para pengungsi juga makin terpuruk dengan kendala beribadah.

“Semua orang mengalami depresi sekarang, terutama selama bulan Ramadan. Kami sangat sulit untuk mengambil air wudhu saat magrib tiba atau saat subuh ketika kita ingin beribadah," kata Zakir.

"Lebih dari 200 orang ingin pergi ke toilet pada saat yang sama," tambahnya.

Untuk itu, mereka bersiasat dengan cara menuju supermarket terdekat untuk menggunakan kamar mandi. Dalam arti lain, para pengungsi tidak dapat mematuhi anjuran pemerintah supaya orang-orang tetap belajar, bekerja, beribadah dari rumah.

Susahnya mendapat makanan

Sedihnya lagi, untuk makan sehari-hari, para pengungsi sangat bergantung pada kebaikan penduduk setempat. Hal itu merupakan upaya terakhir mereka karena pemerintah tak mengizinkan pengungsi untuk bekerja di Indonesia.

Zakir berucap penduduk yang baik hati sering kali memberikan mereka air minum, roti, dan kadang-kadang mi instan yang mereka anggap sebagai makanan mewah. Mau tak mau, karena persediaan makanan terbatas, mereka sering kali melewatkan sarapan.

Mengingat makanan yang dikonsumsi memiliki gizi yang rendah, mereka tak yakin dapat memiliki sistem kekebalan tubuh terbaik untuk melawan COVID-19. Apalagi, sekarang bertepatan dengan masuknya bulan Ramadan, yang berarti mereka harus berpuasa menahan haus dan lapar. Tak ayal, kekebalan tubuh mereka akan sedikit terganggu.

“Orang dewasa akan baik-baik saja, mereka akan bertahan hidup. Tapi bagaimana dengan anak-anak? Mereka tidak punya susu, dan mereka bahkan tidak bisa pergi ke dokter untuk pemeriksaan kesehatan,” tutur Zakir.

Upaya pemerintah

Diungkap oleh perwakilan Pemprov DKI Jakarta, Taufan Bakri, Pemprov sangat paham dengan kondisi para pengungsi. Bahkan, mereka telah berkoordinasi dengan UNHCR --badan PBB yang mengurus pengungsi-- dalam memberikan bantuan kepada para pengungsi. Sayangnya, pandemi COVID-19 membuat rencana tersebut ditunda untuk sementara waktu.

Bakri mengungkap, Pemprov DKI saat ini memiliki prioritas lain. Hal itu mengingat ada sekitar 1,2 juta orang miskin yang harus diurus oleh pemerintah. "Sebenarnya kami sangat prihatin, tetapi dengan kondisi saat ini kami tidak bisa berbuat banyak.”

Dirinya pun menjelaskan sebenarnya Pemprov DKI tak memiliki kewajiban dalam merawat pengungsi. "Kami merasa kasihan pada mereka tetapi hanya ada itu yang bisa kami lakukan. Tapi, kami tetap masih memfasilitasi kebutuhan dasar seperti air dan listrik," katanya.

Meski begitu, setelah pandemi berakhir, Pemprov DKI akan kembali berdiskusi dengan pihak-pihak terkait tentang langkah yang harus mereka lakukan untuk para pengungsi. Terutama, terkait kemungkinan jikalau tak ada negara yang mau menerima mereka sekarang, mengingat situasi ekonomi dunia yang sedang hancur-hancurnya.