Dugaan Mafia Migas di Balik Harga BBM yang Tak Kunjung Turun
Pom bensin Pertamina. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Harga minyak dunia anjlok karena adanya perang dagang antara Rusia dan Amerika Serikat. Keadaan justru diperburuk dengan wabah virus corona atau COVID-19 yang menyerang dunia.

Dampaknya terjadi pelemahan permintaan sejak awal Februari. Akibatnya, harga bahan bakar minyak (BBM) juga turun. Namun, di Indonesia hal ini tak terjadi.

Per Kamis, 23 April, minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Juni memang mengalami kenaikan 1,04 dolar Amerika Serikat (AS) atau 5,38 persen ke posisi 20,37 dolar AS per barel. Sementara, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni naik 2,21 dolar AS atau 19,1 persen ke 13,78 dolar AS per barel. Meski mengalami kenaikan, namun harga tersebut masih jauh dari harga normal yakni 60 dolar AS per barel.

Tren penurunan harga minyak dunia itu mendorong beberapa negara menurunkan harga jual BBM di negerinya. Salah satunya, Malaysia yang sudah enam kali menurunkan harga BBM dalam tiga bulan terkahir. Harga BBM sekelas Pertamax Plus (RON 95) di Malaysia saat ini di tetapkan hanya Rp4.420 per liter, jauh lebih murah ketimbang harga Premium (RON 88) di Indonesia yang masih Rp6.450 per liter.

Berbeda dengan Malaysia, harga BBM di Indonesia tak turun sama sekali. Harga berlaku saat ini masih mengacu pada penetapan harga di awal Februari. Salah satu penyebab harga BBM enggan turun adalah adanya perubahan Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 187K/10/MEM/2019 tentang Formula Harga BBM, yang diteken pada 7 Oktober 2019 oleh Menteri ESDM saat itu, Ignasius Jonan. Menteri ESDM yang baru Arifin Tasrif telah mengubahnya menjadi Kepmen ESDM No 62K/MEM/2020 yang diteken 28 Februari 2020.

Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, perubahan Kepmen baru tersebut terkait dengan kenaikan konstanta dalam formula penetapan harga BBM.

Untuk diketahui, dalam menetapkan harga RON 92 dihitung dari harga Mean Of Plats Singapore (MOPS) yang ditambah Rp1.800. Artinya, akan terjadi kenaikan dari sebelumnya Rp1.000 ditambah marjin 10 persen.

Sementara itu, harga di atas RON 92 yakni harga MOPS ditambah Rp 2.000. Artinya, naik dari sebelumnya Rp1.000 dan Rp 1.200 ditambah dengan margin 10 persen. MOPS adalah harga rata-rata minyak di Singapura dalam dua bulan terkakhir.

Fahmy mengatakan, dengan Kepmen peninggalan Jonan yakni Kepemen 187K/10/MEM/2019, harga BBM di Indonesia bisa diturunkan hingga dua kali. Pada Januari, padahal harga minyak dunia saat itu masih bertengger di atas 60 dolar AS per barrel.

"Sekarang harga minyak cenderung turun drastis hingga rata-rata di bawah 20 dolar AS per barel, mengapa harga BBM tidak kunjung turun? Berdasarkan formula Kempen No 62K/MEM/2020, paling tidak ada dua kemungkinan penyebabnya, yakni penaikkan konstanta dan penetapan harga MOPS yang tidak sesuai dengan harga minyak dunia," tulis Fahmy dalam keterangan tertulis yang diterima VOI, Jumat, 24 April.

Berdasarkan hasil kajian tim antimafia, Fahmy mengatakan, ada indikasi bahwa mafia migas selain bermain dalam peningkatan volume impor BBM, juga bermain dalam penetapan MOPS.

"Bahkan tidak mustahil ikut pula bermain dalam keputusan penaikkan konstanta dalam formula penetapan harga BBM. Kendati Petral, yang selama ini dikenal sebagai markas mafia migas, sudah dibubarkan. (Namun) mafia migas sesungguhnya masih saja berkeliaran," jelasnya.

Mantan anggota antimafia migas ini mengaku, mafia migas sudah menjadi inherent system yang mampu memengaruhi kebijakan pemerintah. "Kalau indikasi keterlibatan mafia migas itu benar, tidak berlebihan dikatakan bahwa mafia migas pula yang ada di balik keputusan tidak menurunkan harga BBM di tengah anjloknya harga minyak dunia," katanya.

Fahmy mengatakan, Menteri ESDM Arifin Trasrif harus segera mengambil langkah-langkah konstruktif untuk menurunkan harga BBM dalam waktu dekat ini. Salah satunya, mengembalikan besaran konstanta dalam penetapan formula harga BBM, dengan menetapkan besaran konstanta itu seperti ditetapkan oleh Menteri ESDM sebelumnya Ignasius Jonan.

Di samping itu, katanya, Menteri ESDM harus mengevaluasi besaran MOPS yang disesuaikan dengan harga minyak dunia yang berlaku. Sebab, penurunan harga BBM sebenarnya akan dapat menaikkan daya beli masyarakat, yang lagi terpuruk akibat COVID-19. Kenaikan daya beli itu akan meningkatkan konsumsi, dan akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, kata Fahmy, keputusan untuk tidak menurunkan harga BBM sesungguhnya menunjukkan ketidakadilan terhadap konsumen. Pada saat harga minyak dunia naik, Pertamina dengan sigap menaikkan harga BBM. Namun, saat harga minyak dunia turun drastis, Pertamina tidak menurunkan harga BBM.

"Pada saat inilah momentum yang paling tepat untuk menurunkan secara serentak harga BBM non-subsidi dan subsidi. Selain untuk menikkan daya beli, juga untuk meringankan beban rakyat yang menderita akibat serangan COVID-19," tuturnya.

Apalagi, kata dia, PLN saja sudah menggratiskan dan memotong tarif listrik untuk meringankan beban rakyat, Pertamina mestinya juga mengikuti langkah PLN.

Dampak Penurunan Harga Minyak Terhadap APBN

Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Publik Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Endang Larasati mengatakan, produsen harus segera menyerahkan stok kepada konsumen karena faktor penyimpanan yang terbatas. Namun, hal ini diperkirakan berdampak secara jangka pendek, mengingat harga jual WTI kontrak pada Juni masih berkisar pada 20 dolar AS per barel.

"Harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price atau ICP) saat ini sedikit di atas harga minyak Brent. Perubahan ICP akan berdampak terhadap APBN mengingat baseline asumsi harga ICP dalam Perpres 54/2020 ialah 38 dolar AS per barel untuk harga rata-rata sepanjang tahun 2020," katanya, Selasa, 21 April.

Endang mengatakan, jika harga terus mengalami penurunan sehinga ICP menjadi 30,9 dolar AS per barel dalam rata-rata setahun, maka defisit diperkirakan bertambah Rp12,2 triliun.

"Pemerintah terus melakukan pemantauan untuk melakukan kebijakan antisipatif. Termasuk pengendalian defisit, salah satunya melalui evaluasi atas belanja non-produktif, dan mengambil langkah-langkah mitigasi untuk menjaga kesinambungan fiskal dan pertumbuhan ekonomi," tuturnya.