JAKARTA - Representasi pandangan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dan laut yang sangat luas, penting untuk disampaikan dalam Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS).
Itu disampaikan Profesor Dr. Eddy Pratomo SH, MA, Guru Besar Hukum Laut UNDIP dan Duta Besar RI yang dicalonkan oleh Indonesia sebagai hakim ITLOS.
Profesor Eddy menerangkan, Indonesia merupakan negara besar di bidang maritim, dengan dua pertiga wilayahnya merupakan laut, dan memiliki prinsip negara kepulauan.
Dijelaskannya, posisi Indonesia dalam perundingan garis batas dengan negara tetangga, cari penarikan garisnya menggunakan archipelagic baselines. Berbeda dengan bukan negara kepulauan.
"Representasi pandangan-pandangan Indonesia menurut saya, perlu disumbangkan pemikiran ini kepada ITLOS," jelasnya dalam keterangan pers di Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta, Jumat 9 Mei petang.
Dijelaskannya, Indonesia ingin berkontribusi dalam pembuatan advisory opinion (mengenai hukum laut internasional).
Ia mengatakan, meski ITLOS relatif kurang terkenal dibanding Mahkamah Internasionl (ICJ), menangani sekitar 30 kasus sengketa luat antar negara. Belakangan, ITLOS sangat memiliki korelasi dengan situasi saat ini. Tahun lalu, ITLOS menyampaikan advisory opinion mengenai climate change, kenaikan permukaan air laut.
Menurutnya, ITLOS harus menjadi think-tank di bidang permasalahan hukum laut. Semua perundingan, semua urusan laut, sudah ada konstitusinya.
"Undang-Undang Dasar di ITLOS itu UNCLOS (1982), kita negara pihak dalam UNCLOS dan kita negara kepulauan, kita punya satu bab khusus, Bab IV di UNCLOS tentang negara kepulauan," tandasnya.
Ditambahkannya, jika terpilih, nantinya dia akan mewakili wilayah Asia Pasifik yang memiliki sekitar 4-5 hakim di ITLOS. Total ada 21 hakim dari seluruh dunia, meliputi Amerika Latin, Eropa, Amerika, Afrika dan Asia Pasifik.
Diberitakan sebelumnya, Wakil Menteri Luar Negeri RI Arif Havas Oegroseno mengumumkan pencalonan dua wakil Indonesia di dua lembaga internasional, yakni Profesor Dr. Eddy Pratomo SH, MA sebagai hakim pada Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS) dan Profesor Hikmahanto Juwana SH, LL.M, Ph.D sebagai anggota International Law Commission (ILC).
Wamenlu Havas menerangkan, pencalonan Profesor Eddy tidak lepas dari Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi hukum laut internasional UNCLOS 1982. Namun, sejak ITLOS berdiri di tahun yang sama, Indonesia belum pernah memiliki hakim yang duduk dalam pengadilan hukum laut internasional.
"Di sisi lain, Indonesia ingin merefleksikan negara-negara berkembang, dari kawasan ASEAN yang harus memiliki keterwakilan. Apalagi Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia, akan sangat ideal, jika kepentingan-kepentingan negara berkembang, negara kepulauan bisa terefleksikan dalam komposisi hakim hukum laut internasional," jelasnya.
BACA JUGA:
Wamenlu Havas mengatakan, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah laut yang sangat luas, posisi geografis yang sangat strategis, cara pandang bangsa kita terhadap laut, pengalaman sebagai bangsa yang pernah mengajukan konsep negara kepulauan menjadi prinsip negara kepulauan, belum banyak disuarakan di dalam keputusan hakim hukum laut di bawah ITLOS
"Kita ingin ada keterwakilan cara pikir bangsa Indonesia dalam konteks ITLOS," tandas Wamenlu Havas.
Diketahui, Profesor Eddy dicalonkan sebagai hakim ITLOS untuk masa kerja 2026 - 2035.
Pemilihan hakim ITLOS untuk periode 2026-2035 akan dilaksanakan dalam pertemuan Negara-Negara anggota Konvensi Hukum Laut Internasional di New York, Amerika Serikat. Pertemuan yang akan dilaksanakan pada bulan Juni 2026 tersebut akan memilih tujuh orang hakim baru untuk menggantikan para hakim yang masa jabatannya berakhir.