JAKARTA - Pemerintah memang tak mengeluarkan larangan bagi masyarakat yang ingin pulang ke kampung halaman di saat pandemi COVID-19. Akan tetapi, perlu diketahui, ada risiko besar di balik mudik. Pertama, bagi si pemudik. Kemudian, risiko untuk keluarga dan masyarakat sekitar di kampung halaman. Lewat artikel ini, kita dalami yang pertama. Semoga cukup untuk membuat Anda menetap di mana pun Anda berada.
Juru Bicara Gugus Tugas COVID-19 Achmad Yurianto mengatakan, potensi penularan paling besar terjadi dalam perjalanan. Di kesempatan itu, pemudik akan bertemu banyak orang yang tak diketahui latar belakang kesehatannya. Perlu diingat, dalam COVID-19, banyak orang yang sebenarnya terjangkit namun tak memperlihatkan gejala.
"Kami katakan bahwa risikonya terlalu tinggi kalau kita harus bepergian dalam situasi yang seperti ini (pandemi COVID-19)," ucap Yuri di Graha BNPB, Senin, 6 April.
Yuri melanjutkan, dipecah dari segi lokasi, titik rawan penularan paling banyak adalah terminal atau stasiun yang dipadati banyak orang. Kemudian, kondisi di dalam kendaraan umum itu sendiri, baik kereta api atau pun bus kota. Bus, misalnya. Kendaraan ini biasanya tertutup dan dilengkapi pendingin ruangan, dua faktor penambah risiko. Alasannya, sirkulasi udara dalam bus tak akan berganti, hanya berputar di dalam.
"Katakan ada orang yang lain sakit sebagainya, batuk (dan) mengenai kursi tempat duduk atau sebagainya. (Tak sengaja) itu kita pegang, sangat mungkin kita berisiko tertular. Ini yang penting," tegas Yuri.
Untuk itu, sangat disarankan menahan diri tidak pulang ke kampung halaman agar bisa memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Akan tetapi, bagi mereka yang sudah terlanjur mudik, maka wajib untuk mereka melakukan isolasi mandiri ketika tiba ditempat tujuan.
Kemudian, selalu menjaga jarak dengan anggota keluarga lain dan ingat untuk selalu mencuci tangan atau menjaga kebersihan. Namun, ketika muncul gejala kesehatan, harus langsung memeriksa kesehatan atau kondisi tubuh. Dengan menerapkan hal itu, paling tidak bisa mencegah penularan yang berlanjut.
"Tetap bahwa siapa pun kalau kemudian melakukan terpaksa melakukan bepergian, maka, tetap yang harus dilakukan jaga jarak di dalam berkomunikasi. Silakan, kalau sudah ada di kampung jaga jarak. Sementara tidak boleh salaman, rajin cuci tangan," tandas Yuri.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, pemerintah memastikan tak akan mengeluarkan larangan bagi masyarakat yang akan pulang ke kampung halaman dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri 2020. Meski tak ada larangan, bagi mereka yang tetap memilih mudik harus melaksanakan isolasi mandiri setelah tiba di kampung halaman dengan jangka waktu 14 hari sesuai anjuran World Health Organization (WHO).
"Presiden Joko Widodo menegaskan tidak ada larangan resmi bagi pemudik lebaran Idul Fitri 2020 M/1441 H. Namun, pemudik wajib isolasi mandiri selama 14 hari dan berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP)," kata Juru Bicara Kepresidenan Fadjroel Rachman dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Kamis, 2 April.
Pengawasan terhadap pemudik yang berstatus ODP ini juga harus dilakukan oleh pemerintah daerah dan dianggap sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk Percepatan Penanganan COVID-19. Akan tetapi, pemerintah akan melaksanakan kampanye secara menyeluruh agar masyarakat tak mudik. Kampanye ini, kata Fadjroel akan melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama dan publik figur.
Diyakini, kampanye semacam ini akan membuat masyarakat tak melaksanakan mudik agar penyebaran virus corona tak terjadi secara masif. Mengingat, dari data Kemendagri pada tahun 2019 lalu, jumlah pemudik di Indonesia mencapai 20.118.531 orang dan tujuan paling banyak adalah ke Jawa Tengah, Jawa Barat, Jawa Timur dan daerah lainnya. "Presiden Joko Widodo juga mengingatkan pemerintah daerah tujuan untuk membuat kebijakan khusus terkait para pemudik ini sesuai protokol kesehatan WHO dengan sangat ketat," katanya.