JAKARTA - Anggota Komisi III DPR Martin Tumbelaka menyoroti banyaknya kasus penggunaan senjata api yang dilakukan anggota kepolisian kepada warga sipil. Dia meminta Polri mengevaluasi penggunaan senpi, sekaligus mendorong reformasi penegakan hukum.
Hal ini dikatakan Martin menyikapi pembunuhan sopir ekspedisi oleh anggota Polda Kalimantan Tengah.
Martin menilai, ada banyak kejadian yang membuktikan polisi menggunakan kewenangannya untuk ‘membunuh’ dengan dalih penegakan hukum.
"Kami meminta untuk mengevaluasi agar penggunaan senpi tidak disalahgunakan. Karena sudah banyak kejadian anggota Polri menggunakan pistol seenaknya," ujar Martin, Rabu, 18 Desember.
Komisi III DPR sebelumnya menggelar rapat dengar pendapat (RDP) bersama Kapolda Kalteng Irjen Djoko Poerwanto terkait kasus pembunuhan yang dilakukan seorang anggota polisi di Kalteng kepada warga dengan senpi.
Dalam kasus tindak pidana pencurian dan kekerasan yang mengakibatkan korban meninggal dunia di Kabupaten Katingan itu, pelaku diberikan sanksi berupa Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).
Terkait langkah tersebut, Martin mengapresiasi langkah Polda Kalteng. Apalagi yang bersangkutan kedapatan positif menggunakan narkoba.
“Untuk Pak Kapolda Kalimantan Tengah tentu kami berterima kasih karena sudah memproses anggotanya yang sudah melakukan pelanggaran dan sudah dihukum,” katanya.
“Saya melihat di sini ada satu masalah, dari hasil pelakunya itu terindikasi ternyata menggunakan psikotropika yaitu sabu-sabu,” sambung Martin.
Martin mengatakan, insiden ini menjadi perhatian Komisi III DPR. Pihaknya pun meminta jajaran Polri untuk melakukan pengawasan ketat dan pengecekan berkala kepada anggotanya.
“Karena ini satu yang dituangkan dalam asta citanya Pak Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas narkoba. Jadi kami mendorong ini untuk pengecekan yang rutin untuk anggota kepolisian, baik dari Mabes Polri, Polda sampai ke bawah yaitu polsek,” ungkap Legislator dari Dapil Sulawesi Utara itu.
Martin lantas mengungkit soal bagaimana kasus penggunaan senpi kembali terjadi di lingkungan Polri. Beberapa waktu lalu, Komisi III DPR juga memanggil jajaran Polres Semarang dan Polda Jawa Tengah dalam kasus penembakan yang dilakukan oleh Aipda Robig terhadap Gamma Rizkinata (GR), seorang pelajar SMKN 4 Semarang.
Kasus tersebut bahkan diwarnai oleh manipulasi. Sebab awalnya pelaku disebut menembak korban karena melakukan tawuran. Padahal saat kejadian tak ada peristiwa tawuran, dan belakangan diketahui pelaku menembak korban karena motornya terserempet.
“Ini kejadian juga menggunakan pistol sehingga menyebabkan kematian. Tentu kami mendorong pihak kepolisian supaya langkah-langkah pengawasan anggotanya lebih efektif dan maksimal,” ucap Martin.
Menurut Martin, banyaknya kasus penembakan yang dilakukan anggota kepolisian telah menimbulkan keresahan di publik. Bahkan beberapa kalangan meminta DPR menggunakan hak angketnya untuk menyelesaikan kasus-kasus penyalahgunaan senpi di lingkungan aparat.
BACA JUGA:
Berdasarkan data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 45 pembunuhan di luar hukum yang dilakukan aparat negara dalam periode Desember 2023-November 2024. Sebanyak 34 kali dilakukan oleh polisi dan 11 dilakukan oleh TNI.
KontraS juga mengungkap ada 47 orang tewas akibat perilaku aparat pada periode yang sama di mana 29 korban disebabkan senjata api, dan 18 korban akibat penyiksaan. Oleh karena itu, Martin menyesalkan tindakan-tindakan represif aparat seperti ini.
"Mirisnya, lebih dari 30 kasus terjadi hanya dalam kurang lebih satu tahun. Seharusnya polisi itu mengayomi dan melindungi, bukan membunuh," pungkasnya.