Bagikan:

JAKARTA – Peneliti BRIN, Nyimas Latifah Letty Aziz meminta pemerintah pusat mengenyampingkan alasan politis dalam mempertimbangkan pencabutan moratorium dan pembentukan Daerah Otonomi Baru atau DOB meski ada usulan dari berbagai daerah di Indonesia.

“Usulan DOB harus dengan kajian yang mendalam. Jangan karena alasan politis, karena untuk membentuk daerah otonomi, harus memenuhi kelayakan yang kompleks. Jadi harus hati-hati. Jangan karena aspirasi, tapi tidak layak diberi,” ujarnya, Minggu 15 Desember 2024.

Usul pembentukan DOB ini dikemukakan Wamendagri, Bima Arya Sugiarto, yang mengungkapkan bahwa pihaknya menerima 337 usulan pembentukan DOB. Jumlah ini mencakup 42 usulan pemekaran provinsi, 248 pemekaran kabupaten, 36 pemekaran kota, enam pemekaran daerah istimewa, dan lima pemekaran otonomi khusus.

Berdasarkan provinsi, total usulan terbanyak datang dari Sumatera Utara dan Papua, masing-masing 23 usulan, Jawa Barat dengan 21 usulan, dan Maluku serta Papua Pegunungan dengan total 19 usulan.

Menurut Letty, usulan 337 DOB yang diungkapkan wamendagri harus dipilah Kemendagri untuk menghindari semangat otonomi yang seluas-luasnya justru membuat DOB gagal secara substansi dan teknis lantaran tak memenuhi syarat.

“Selama ini kita perhatikan DOB gagal mengedepankan kepentingan nasional akibat penekanan proses bottom up, yang cenderung parsial dan lebih mengutamakan kepentingan daerahnya masing-masing. Karena itu, pemerintah pusat perlu menerapkan juga kebijakan yang top down, dengan memperhatikan persoalan krusial baik yang dihadapi oleh nasional maupun lokal,” tuturnya.

Dia mengatakan, usulan 337 DOB yang masuk ke Kemendagri harus diseleksi secara teknis, dengan melibatkan kementerian teknis, terkait kelayakan potensi sektoral yang dimiliki calon DOB beserta daerah induknya. Dia mencontohkan, pembentukan DOB harus memperhatikan faktor kemampuan ekonomi dan potensi daerah dari sisi sosial-budaya, politik, geografi, birokrasi, dan kependudukan.

“Sebaiknya Kemendagri tidak menggunakan penilaian calon DOB dari aspek kuantitatif karena mudah dimanipulasi. Selain itu, penilaian kelayakan politik dilakukan di bawah arahan dan pengawasan DPOD (Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah) dengan menunjuk lembaga tersertifikasi untuk melakukan assessment melalui beberapa tahapan,” terangnya.

“Perlu juga ada batasan waktu tertentu bagi daerah yang baru dimekarkan untuk dimekarkan lagi guna menghindari dua kali pemekaran dalam waktu berdekatan, misal 10 tahun untuk provinsi dan 25 tahun untuk kabupaten/kota,” sambung Letty.

Dia juga menegaskan, pemerintah pusat juga harus melihat tingkat efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dalam pembentukan DOB. Hal ini terkait dengan parameter penataan daerah untuk menjawab tantangan sesungguhnya. Misalnya merumuskan bagaimana strategi penataan yang mampu mendorong kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan publik, yang pada ujungnya untuk menyejahterakan rakyat dan mendorong demokrasi lokal.

Selain itu, pemerintah pusat seharusnya tidak hanya memprioritaskan pemekaran, tetapi juga penggabungan daerah berdasarkan kepentingan strategis nasional di bidang politik, ekonomi, persebaran penduduk, termasuk kualitas SDM dan keamanan.

“Kegagalan DOB selama ini disebabkan oleh masih lemahnya kapasitas manajemen pemerintahan, kesiapan SDM aparat pemerintahan, legislatif, ketersediaan sarana dan prasarana, tata kelola pemerintahan, dan masalah koordinasi, pembinaan, dan pengawasan,” tutup Letty.