JAKARTA – Ketua DPR RI Puan Maharani menanggapi isu terkait dugaan ketidaknetralan polisi dalam pelaksanaan Pilkada 2024. Puan meminta masyarakat untuk melaporkan dugaan tersebut jika memiliki bukti konkret.
“Jika ada bukti nyata, segera laporkan. Ini adalah persoalan nasional yang melibatkan kita sebagai bangsa. Jadi, jika ada bukti, biarkan masyarakat melaporkannya ke pihak berwenang,” ujar Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 3 Desember.
Puan menekankan bahwa dugaan ketidaknetralan aparat dalam pilkada adalah isu serius yang harus diselesaikan demi menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Dugaan ketidaknetralan polisi pertama kali disampaikan oleh PDIP, khususnya terkait Pilkada di Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Menurut PDIP, indikasi ini turut berkontribusi pada kekalahan pasangan calon kepala daerah yang mereka usung di dua wilayah tersebut.
Isu ini memicu perdebatan publik, mengingat pentingnya peran aparat dalam memastikan pemilu berlangsung jujur, adil, dan tanpa tekanan politik.
Puan menambahkan bahwa laporan dugaan pelanggaran harus diproses sesuai hukum yang berlaku agar transparansi dan keadilan tetap terjaga.
“Kita harus memastikan semua berjalan sesuai mekanisme demokrasi. Kalau ada yang tidak benar, mari kita benahi bersama,” katanya.
Isu ini menjadi perhatian utama, mengingat Pilkada 2024 adalah momentum besar untuk menentukan arah kepemimpinan di berbagai daerah di Indonesia.
Gerindra Bantah
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra sekaligus Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman, membantah tudingan tersebut. Ia menegaskan bahwa Polri telah bekerja maksimal menjaga keamanan dan kelancaran Pilkada 2024, mulai dari tahapan persiapan hingga hari pemungutan suara pada 27 November lalu.
“Dugaan polisi tak netral adalah hoaks. Polri justru mengamankan penyelenggaraan Pilkada dengan profesional,” kata Habiburokhman.
Ia juga menjelaskan bahwa Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo tidak mungkin memihak salah satu kubu politik karena konfigurasi koalisi dalam Pilkada berbeda di setiap daerah.
“Di satu provinsi, partai A bisa berkoalisi dengan partai B, sementara di provinsi lain mereka berseberangan. Hampir tidak mungkin Kapolri memanfaatkan institusi untuk kepentingan politik tertentu,” jelasnya.