Bagikan:

JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan penangkapan mantan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan Prasetyo Boeditjahjono melalui proses panjang. Sebab, penyidik mesti membuntutinya selama tiga pekan.

"Sebagai informasi bahwa yang bersangkutan sudah kami ikuti. Kita cari sudah hampir tiga minggu. Jadi penangkapan bukan tiba-tiba," ujar Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar dikutip Senin, 4 November.

Penangkapan atau diamankannya Prasetyo Boeditjahjono dikarenakan tak penah sekalipun memunuhi panggilan pemeriksaan. Meski masih berstatus sebagai saksi.

Prasetyo Boeditjahjono diamankan di salah satu hotel di Kotakaler, Kecamatan Sumedang Utara, Kabupaten Sumedang, pada 3 November.

Kemudian, dilakukan serangkaian pemeriksaan. Hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

"Yang bersangkutan sedang bersama keluarga. Kemudian, oleh tim intelijen bersama-sama dengan penyidik langsung mendatangi tempat yang bersangkutan dan langsung dilakukan penangkapan," kata Qohar.

Kasus dugaan korupsi itu bermula saat Balai Teknik Perkeretaapian (BTP) Kelas 1 Medan melaksanakan pembangunan jalan kereta api Trans Sumatera yang salah satunya adalah pembangunan jalan kereta api Besitang-Langsa yang menghubungkan Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Aceh dengan anggaran pembangunan sebesar Rp1,3 triliun yang bersumber dari Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), pada 2017 hingga 2023.

Dalam pelaksanaan pembangunan tersebut, Prasetyo selaku Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan periode 2016—2017 memerintahkan terdakwa Nur Setiawan Sidik (NSS) selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) untuk memecah pekerjaan konstruksi tersebut menjadi 11 paket dan meminta kepada NSS untuk memenangkan delapan perusahaan dalam proses tender atau lelang.

Ketua Pokja Pengadaan Barang dan Jasa, yakni terdakwa Rieki Meidi Yuwana (RMY), atas permintaan KPA, lantas melakukan lelang konstruksi tanpa kelengkapan dokumen teknis pengadaan yang telah mendapat persetujuan pejabat teknis dan metode penilaian kualifikasi pengadaan bertentangan dengan regulasi pengadaan barang dan jasa.

Dalam pelaksanaan tersebut, diketahui pembangunan jalan KA Besitang-Langsa tidak didahului dengan studi kelayakan, tidak terdapat dokumen trase jalur kereta api yang dibuat Kementerian Perhubungan, serta KPA pejabat pembuat komitmen (PPK) dan konsultan pengawas dengan sengaja memindahkan jalur pembangunan kereta api yang tidak sesuai dengan dokumen desain dan jalan sehingga jalur KA mengalami amblas atau penurunan tanah dan tidak dapat terpakai.

Dari pelaksanaan pembangunan, Prasetyo mendapatkan fee dari terdakwa Akhmad Afif Setiawan (AAS) selaku PPK sebesar Rp1,2 miliar dan dari PT WTJ sebesar Rp1,4 miliar.

Di kasus ini, Prasetyo disangkakan dengan Pasal 2 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2021 jo. Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.