JAKARTA - Sentra Penegakkan Hukum Terpadu (Sentra Gakkumdu) yang terdiri dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), kepolisian, dan kejaksaan mencoba menyamakan persepsi mengenai pemahaman teknis mengenai UU Pilkada.
Anggota Bawaslu RI Puadi menyebut, penyamaan persepsi ini dilakukan supaya penegakan hukum dapat berjalan secara efektif dan adil, terlebih pada 25 September Pemilihan 2024 memasuki masa kampanye.
Puadi menyadari sering terjadi perbedaan interpretasi aturan hukum antara pengawas pemilu, polisi, dan jaksa, membuat proses penegakan hukum atas laporan dugaan pelanggaran pemilu.
Hal ini membuat laporan dari masyarakat atau temuan dugaan tindak pidana pemilihan dari Bawaslu terhambat, bahkan tidak dapat ditindaklanjuti karena cacat formil maupun tidak cukup bukti.
"Semoga tidak ada lagi perbedaan pendapat antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan karena orientasi penanganan tindak pidana pemilihan bertujuan untuk memulihkan hak politik yang terganggu dari satu tindakan yang tidak fair atau curang sehingga diperlukan penindakan," kata Puadi dalam keterangannya, Kamis, 26 September.
Berkaca pada penyelenggaraan Pilkada 2020, Puadi mengatakan terdapat tren tindak pidana pemilihan yang kerap terjadi. Puadi khawatir kondisi ini terulang dalam Pilkada 2024.
"Setidaknya kita akan diperhadapkan dengan dugaan tindak pidana pelanggaran larangan kampanye; ketidaknetralan kepala daerah, kepala desa, dan ASN; praktik politik uang," ucapnya.
BACA JUGA:
Di satu sisi, Puadi juga mengatakan peran penting polisi dan jaksa dalam penanganan tindak pidana pemilihan. Menginbag, kewenangan Bawaslu dalam pemilihan terbatas. Selain karena singkatnya waktu penanganan selama tiga hari, Bawaslu juga tidak bisa memanggil secara paksa untuk dimintai keterangan.
"Pengawas pemilu juga tidak bisa menyita barang bukti sehingga kekurangan tersebut bisa dilengkapi oleh kewenangan Polisi dan jaksa," tutur Puadi.