Bagikan:

JAKARTA - Komisi X kembali menyoroti carut marutnya Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI di Aceh-Sumatera Utara (Sumut). Selain tak ada perbaikan dari masalah fasilitas, PON juga diwarnai insiden pemukulan wasit sepakbola yang menuai kontroversi.

"Kami kecewa dengan penyelenggaraan PON kali ini. Banyaknya masalah di PON Aceh-Sumut merupakan sebuah kegagalan manajemen karena kurang maksimalnya persiapan dan pelaksanaan," ujar Anggota Komisi X DPR RI Andreas Hugo Pariera, Rabu 18 September.

Seperti diketahui, kontroversi terjadi dalam pertandingan PON cabang sepakbola di mana wasit yang bertugas di laga Aceh melawan Sulawesi Tenggara dinilai berat sebelah. Eko Agus sebagai wasit dinilai menguntungkan Aceh sebagai tuan rumah.

Keputusan kontroversial wasit yang memberikan kartu merah untuk beberapa pemain Sulteng membuat pertandingan memanas. Puncaknya, pemain Sulteng, Muhammad Rizki Saputra, memukul wasit Eko setelah keputusan penalti diberikan untuk Aceh.

"Tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan apapun alasannya, perlu ada tindakan disiplin. Tapi di sisi lain, dugaan wasit yang berat sebelah ini juga harus diinvestigasi. Jangan sampai pertandingan olahraga akbar Indonesia tercoreng karena adanya kecurangan-kecurangan,” tegasnya.

Buntut kontroversi wasit yang dianggap berat sebelah ini, PSSI memutuskan mengganti wasit PON dengan wasit yang berlaga di Liga 1 dan Liga 2. PSSI juga akan memberikan sanksi tegas terkait aksi pemain yang melakukan kekerasan di laga Aceh Vs Sulteng.

“Kejadian ini sangat memalukan sekaligus menggambarkan perlunya reformasi dalam pemilihan wasit. Kita berharap keputusan penggantian wasit bisa membuat pertandingan menjadi lebih fair,” kata Andreas.

Selain itu, Komisi X DPR yang membidangi urusan olahraga juga meminta diadakannya penegakan aturan yang ketat dan konsisten di semua level kompetisi. Gunanya agar jika ada tindakan kekerasan oleh pemain, ofisial atau suporter, maka harus dikenai sanksi yang tegas.

“Penegakan disiplin yang adil dan konsisten tidak hanya akan menindak pelanggaran wasit tetapi juga memberikan sinyal jelas bahwa kekerasan tidak boleh ditoleransi,” sebutnya.

Andreas pun meminta Pemerintah dalam hal ini Kementerian Olahraga (Kemenpora) dan lembaga yang menaungi tiap cabang-cabang olahraga (cabor) untuk melakukan pendidikan dan pelatihan terkait etika olahraga, pengelolaan stres, dan penyelesaian konflik. Program pelatihan yang baik akan membantu peserta kompetisi dalam menghadapi situasi stres dan konflik dengan cara yang konstruktif dan sportif.

"Kesejahteraan dan keselamatan semua pihak yang terlibat dalam olahraga harus menjadi prioritas utama. Dan seleksi penentuan wasit yang memimpin pertandingan serta pengawasan terhadap juri maupun wasit juga harus dievaluasi,” terang Andreas.

Selain kontroversi wasit, masalah fasilitas juga masih menjadi sorotan dalam PON Aceh-Sumut. Tak hanya atlet, panitia pelaksana hingga juri mengeluhkan masalah konsumsi yang tidak berkualitas. Padahal biaya konsumsi untuk penyelenggaraan PON ini cukup besar karena anggarannya disebut Rp 50 ribu/kotak makan.

Andreas mengatakan Pemerintah seolah tidak memperdulikan masalah logistik bagi atlet dan peserta PON.

“Katanya akan diperbaiki masalah konsumsi ini, tapi faktanya di lapangan masih tetap sama tidak ada perbaikan,” ucapnya.

Ditambahkan Andreas, Pemerintah seharusnya dapat mempersiapkan lebih matang karena PON merupakan event besar olahraga yang diadakan empat tahun sekali. Seharusnya persiapan dapat dilakukan dengan baik dan segera dilakukan perbaikan apabila ada permasalahan.

"Kesiapan seperti akses jalan ke venue, konsumsi hingga venue itu kan hal yang mendasar. Bagaimana mungkin bisa luput dari pantauan saat persiapan. Apalagi PON ini kan event reguler yang selalu dilaksanakan empat tahun sekali," tutur Andreas.

Tak hanya soal menu makanan, beberapa keluhan dalam penyelenggaraan PON Aceh-Sumut lainnya seperti kritikan tentang akses jalan ke venue yang rusak dan tidak memadai, hingga venue yang berdebu. Bahkan ada venue tempat pelaksanaan pertandingan roboh.

Menurut Andreas kekacauan ini menjadi cerminan kurangnya koordinasi dan kolaborasi yang baik.

"Insiden-insiden seperti ini justru menunjukkan bahwa koordinasi antar instansi pemerintah dan penyelenggara lokal masih lemah, serta kurangnya fokus pada standar infrastruktur yang layak,” kata Legislator dari Dapil NTT I ini.

“Jika permasalahan kecil seperti kubangan lumpur saja dianggap sepele, bagaimana dengan masalah-masalah lain yang lebih penting?” tambahnya.