JAKARTA - Perwira Polri, Inspektur Dua (Ipda) Rudy Soik menerima sanksi kode etik dari institusi yang menaunginya diduga akibat mengungkap mafia bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di NTT. Komisi III DPR RI meminta kejelasan dari Polri terkait kasus ini demi keadilan dan agar tidak menimbulkan kecurigaan publik.
“Permasalahan ini perlu menjadi perhatian karena terlalu kental dengan nuansa manipulasi,” kata Anggota Komisi III Gilang Dhielafararez, Jumat 6 September.
Permasalahan ini bermula dari terbongkar nya ada dugaan seorang polisi yang berpangkat Bripka A terlibat mafia BBM jenis solar yang dibawa ke wilayah Perbatasan RI-RDTL (Republik Demokratik Timor Leste) untuk kepentingan proyek APBN. BBM bersubsidi yang diselundupkan ke Timor Leste ini hasil dari penimbunan para pengepul yang dibacking oknum polisi di NTT.
Kasus tersebut telah dikonfirmasi kebenarannya oleh Kepolisian Resor Kupang Kota, NTT pada bulan Juli 2024 lalu. Berdasarkan kasus tersebut, Rudy Soik yang saat itu sebagai penyidik Direktorat Kriminal Khusus Polda Nusa Tenggara Timur menjalankan tugasnya untuk mengusut dan menyelidiki mafia BBM ini.
Rudy Soik bahkan mendapat surat perintah tugas penyelidikan dari Kapolresta Kupang Kota Kombes Aldinan Manurung. Namun pihak Polda NTT menyatakan ada kesalahan prosedur dan ketidakprofesionalan dalam penyelidikan yang dilakukan Rudy dan tim. Sanksi yang ia terima juga atas tuduhan berkaraoke dengan istri orang, dalam hal ini Polwan yang bertugas di Polda NTT.
Rudy Soik sendiri mengaku sanksi yang diterimanya merupakan pembunuhan karakter atas dirinya karena mengungkap adanya keterlibatan oknum polisi di Polda NTT dalam jaringan mafia yang menyebabkan kelangkaan BBM bersubsidi di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Belu, Kota Kupang, bahkan hingga kawasan wisata Labuan Bajo. BBM bersubsidi yang langka di NTT diketahui terjadi sudah cukup lama.
Rudy yang sedang makan siang bersama timnya di tempat karaoke didatangi pihak Bidang Profesi dan Pengamanan Polda NTT hanya berselang beberapa jam setelah penindakan terhadap pelaku mafia BBM bersubsidi. Ia mengajak makan siang timnya dalam rangka analisis dan evaluasi (anev) terkait penindakan mafia BBM bersubsidi.
Pihak Polda NTT mempermasalahkan Rudy karena makan siang di tempat karaoke bersama dua polwan, padahal saat itu ada juga anak buahnya yang lain. Bahkan beberapa bawahannya yang akan ikut makan siang dilarang masuk oleh pihak Propam yang tiba-tiba melakukan penindakan kepada Rudy. Karaoke Master Piece yang menjadi lokasi tempat makan siang Rudy dan tim juga diketahui sering didatangi oleh ibu-ibu Bhayangkari untuk makan bersama.
Gilang meminta persoalan ini diusut secara transparan, apalagi ada dugaan pertikaian antara Rudy Soik dan jajaran Polda NTT terkait masalah yang berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat.
“Patut diduga apa yang disampaikan Rudy Soik terkait pembunuhan karakter untuk dirinya benar. Karena alasan pemberian sanksi menurut saya terlalu mengada-ada, karena ada jajaran anggota Polri lainnya di tempat makan karaoke itu,” ungkapnya.
“Komisi III DPR akan ikut mengawal permasalahan ini mengingat Polri merupakan mitra kami. Secara akal sehat, kita bisa melihat ada upaya penjegalan terhadap saudara Rudy Soik yang sedang menjalankan tugasnya dalam mengusut jaringan mafia BBM bersubsidi,” sambung Gilang.
Gilang menilai apa yang dilakukan oleh Rudy Soik seharusnya didukung dan dilindungi oleh Kepolisian, bukan malah dihukum karena kejahatan mafia BBM ini dapat merugikan masyarakat.
"Ini sungguh ironi, harusnya polisi seperti Rudy Soik ini didukung dan dilindungi bukan malah kena hukuman demosi. Ada apa ini? Apa karena dugaan adanya oknum polisi terlibat dalam mafia BBM ini benar?” ucap Legislator dari Dapil Jawa Tengah II itu.
"Keberanian mengungkap kebenaran harus didukung dan tidak dihukum, agar keadilan dapat benar-benar ditegakkan di Indonesia," sambung Gilang.
Gilang menggarisbawahi soal Rudy Soik dikenakan sanksi saat kasus penyelundupan BBM bersubsidi mulai terbongkar dan menemukan titik terang, termasuk siapa saja pejabat hingga pengusaha berinsial HT yang diduga terlibat dalam jaringan mafia BBM ini.
“Dan hukuman demosi saudara Rudy Soik ke luar NTT yang menjadi locus (tempat) terjadinya pelanggaran justru menimbulkan pertanyaan. Seolah-olah yang bersangkutan memang sengaja dijauhkan dari pengusutan kasus ini,” kata Gilang.
Demosi adalah penurunan jabatan, fasilitas, dan gaji yang diberikan kepada seorang karyawan atau anggota kepolisian atau dikenal dengan penurunan pangkat. Bukan hanya itu, Rudy Soik harus melakukan permintaan maaf secara lisan kepada institusi Polri dan pihak yang dirugikan, serta sanksi administratif berupa penempatan khusus selama 14 hari dan mutasi demosi keluar Polda NTT selama tiga tahun yakni ke Polda Papua.
Meski begitu, Rudy Soik melawan dan menyatakan siap buka-bukaan. Rudy Soik mengaku sudah mengantongi banyak bukti, termasuk keterlibatan oknum polisi pada jaringan mafia BBM bersubisidi yang disebut sudah ada lama di NTT. Gilang mendukung Rudy Soik untuk mengungkap penemuannya.
“Kita pasti dukung kerja-kerja yang dilakukan penegak hukum, apalagi ini berkaitan dengan kepentingan rakyat. Saya yakin masyarakat NTT juga ingin agar pengusutan kasus ini diteruskan,” tukasnya.
Menurut Rudy Soik, ada banyak kejanggalan dalam penyelidikan pemberantasan mafia BBM di NTT. Selain sanksi kode etik yang ia terima, sebanyak 12 anggotanya yang terlibat dalam penindakan kasus BBM bersubsidi semuanya dimutasi ke luar Polres Kupang.
"Ini kan menimbulkan pertanyaan besar, mengapa justru penegak hukum yang mengungkap kasus dihukum? Keberanian saudara Rudy melawan institusinya sendiri juga menunjukkan ada banyak masalah di dalam internal kepolisian di NTT,” urai Gilang.
Gilang mengatakan, komitmen dan keberanian Rudy Soik dalam menegakkan keadilan demi rakyat di tengah maraknya praktik mafia BBM yang merusak kesejahteraan dan perekonomian rakyat seharusnya mendapat dukungan, apalagi Rudy Soik dikenal sebagai salah satu perwira Polri berprestasi.
“Sekarang karena masalah-masalah tidak jelas yang seperti dibuat-buat untuk menjatuhkan suadara Rudy justru membuat para mafia BBM bersubsidi bebas berkeliaran. Ketidakpekaan Polda NTT dalam hal ini yang justru fokus pada hal lain harus jadi pertanyaan,” paparnya.
“Apa yang terjadi di sini? Apakah ada ketidakadilan struktural yang melindungi kepentingan kelompok tertentu dan mengorbankan kepentingan umum?” lanjut Gilang.
Komisi III DPR yang membidangi urusan hukum itu menilai, kasus ini bukan hanya terkait dengan masalah individu tapi juga memperlihatkan adanya indikasi kegagalan sistematik dalam penegak hukum. Gilang mengatakan, hal tersebut menjadi masalah fundamental dalam penegakan hukum di Indonesia.
"Jika aparat penegak hukum yang berusaha menegakkan keadilan malah dihukum, maka apa yang bisa diharapkan oleh rakyat? Apakah ini berarti bahwa hukum kita hanya melindungi mereka yang memiliki kekuasaan dan kepentingan pribadi, sementara rakyat yang terpinggirkan terus menderita?” ujarnya.
“Ini masalah rakyat yang sedang dibela lho. Ini jadi seperti di film-film, polisi baik dijegal saat mengungkap kejahatan yang melibatkan oknum-oknum berkuasa,” imbuh Gilang.
Gilang pun meminta Mabes Polri untuk ikut turun tangan menyelesaikan masalah Rudy Soik vs Polda NTT tersebut.
“Saya minta pimpinan Polri bisa menunjukkan marwahnya untuk ikut mengatasi permasalahan ini. Pimpinan Polri harus bisa netral dan membela pihak yang benar,” katanya.
Menurut Gilang, institusi penegak hukum juga harus melakukan evaluasi mendalam terhadap kasus Rudy Soik.
“Keadilan harus ditegakkan di Indonesia dengan benar. Hukum harus bisa melindungi pihak-pihak yang melindungi rakyat serta harus bisa menjerat pelaku-pelaku yang salah dan merugikan rakyat,” tegas Gilang.
Gilang pun meminta Polri untuk menindaklanjuti penanganan kasus mafia BBM di NTT tersebut karena kabarnya kasus ini belum selesai ditangani dan menguap begitu saja. Bahkan diduga barang bukti (BB) yang dititipkan di Polres Timor Tengah Utara berupa 1 unit mobil Mitsubshi L300 dan 1.800 liter minyak tanah yang disimpan di 9 drum berukuran 200 liter dan satu kunci mobil juga telah hilang.
"Nama baik Polri dipertaruhkan dalam permasalahan ini. Saya meminta penegak hukum segera menindaklanjuti agar tidak ada masyarakat yang dirugikan. Jangan sampai penegak hukum membiarkan oknum-oknum jahat melakukan kecurangan demi kepentingan pribadi atau sekelompok kecil," pesannya.
Di sisi lain, Pemerintah juga diminta aktif terlibat pada pengusutan kasus penyelundupan BBM bersubsidi tersebut. Sebab masalah penyelundupan yang menyebabkan kelangkaan BBM subsidi bisa terjadi juga karena kurangnya pengawasan dari Pemerintah.
“Bayangkan, BBM bersubsidi yang seharusnya untuk rakyat kecil Indonesia bisa sampai di Timor Leste. Berapa banyak uang negara yang terbuang dan berapa banyak rakyat kita yang dirugikan atas kasus ini?” sebu Gilang.
Pemerintah pun diharapkan bisa melakukan reformasi struktural dalam proses penyaluran dan pengawasan BBM bersubsidi, khususnya di daerah-daerah. Gilang juga berharap masyarakat turut mengawasi persoalan ini dan meminta melapor kepada pihak berwajib apabila menemukan kecurangan-kecurangan.
“Dan agar masyarakat percaya dengan penyelenggara negara, maka Polri dan penegak hukum lain, serta institusi terkait harus bisa menunjukkan integritas dan keprofesionalannya sehingga rakyat tidak enggan untuk melaporkan manakala ada praktik-praktik pelanggaran,” pungkasnya.