Bagikan:

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyesalkan penangkapan 159 peserta aksi unjuk rasa di Gedung DPR RI, Kamis, 22 Agustus, yang ditangkap dan ditahan di Polda Metro Jaya.

Adapun jumlah 159 peserta aksi yang ditangkap dilaporkan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) per pukul 20.00 WIB malam tadi.

"Komnas HAM menyesalkan penangkapan terhadap 159 peserta aksi dan ditahan di Polda Metro Jaya. Komnas HAM mendorong agar aparat penegak hukum segera membebaskan seluruh peserta unjuk rasa yang ditangkap dan ditahan dalam aksi unjuk rasa hari ini," ungkap Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing dalam keterangannya, Jumat, 23 Agustus.

Perwakilan Komisioner Komnas HAM turun langsung memantau penyelenggaraan aksi demonstrasi di gedung DPR RI dan Mahkamah Konstitusi. Dari pemantauannya, Uli menegaskan aksi berjalan kondusif sebelum ada upaya represif dari aparat.

"Aksi yang berlangsung sejak pukul 09.00 - 17.00 WIB berjalan kondusif. Namun sejak pukul 17.00, aparat keamanan mulai menyebarkan gar air mata dan menggunakan cara-cara kekerasan dalam membubarkan unjuk rasa, setelah massa berhasil merobohkan salah satu pintu gerbang DPR RI," jelas Uli.

Padahal, Uli menegaskan aksi unjuk rasa di gedung DPR kemarin merupakan hak setiap orang untuk menyampaikan pendapat dan ekspresi di muka umum. Aksi unjuk rasa berjalan kondusif.

"Komnas HAM menyesalkan cara pembubaran aksi unjuk rasa 22 Agustus 2024 oleh aparat penegak hukum dengan menggunakan gas air mata, pemukulan, beberapa peserta aksi, keterlibatan TNI yang terindikasi penggunaan kekuatan yang berlebihan, yang semestinya mengedepankan pendekatan humanis," urainya.

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mulanya sepakat untuk membawa draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Rapat Paripurna.

Perubahan RUU Pilkada ini menganulir putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas syarat pencalonan di Pilkada. Serta batas usia calon kepala daerah harus 30 tahun.

Rencananya, rapat paripurna digelar pada Kamis, 22 Agustus pagi. Namun, rapat dibatalkan karena kehadiran Anggota DPR tak mencapai kuorum dan akan dijadwalkan kembali.

Akibat rencana pengesahan ini, banyak masyarakat dari berbagai kalangan menggelar aksi unjuk rasa di depan gedung DPR RI, mulai dari mahasiswa, buruh, komika, hingga selebritas. Mereka menentang keputusan DPR yang merevisi UU Pilkada karena dianggap membangkang konstitusi.

Sampai akhirnya, DPR RI memutuskan untuk membatalkan revisi UU Pilkada untuk disahkan. Sehingga, pelaksanaan pencalonan kepala daerah akan tetap mengikuti putusan MK.