Peninggalan Sejarah Kerajaan Tarumanegara: Sungai Citarum sebagai Mega Proyek Baginda Purnawarman
Daerah Aliran Sungai Citarum, Rancamanyar, Kabupaten Bandung (foto Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Pembaca, tahukah Anda kalau Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta, dulu kala pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegara? Informasi tersebut dijelaskan Deni Prasetya dalam buku Mengenal Kerajaan-kerajaan Islam.

Tak hanya menjadi kerajaan tertua, Tarumanegara juga dikenal sebagai kerajaan bercorak Hindu aliran Wisnu. Meski kejayaannya telah berlangsung lama, ada beberapa peninggalan sejarah kerajaan Tarumanegara yang kini masih bisa dijumpai.

Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berdiri pada abad ke-4 Masehi oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman. Kerajaan tersebut memiliki wilayah kekuasaan yang cukup luas yakni di Jawa bagian Barat atau Sunda (termasuk Banten dan Jakarta).

Pada abad ke-5 M, Raja Purnawarman berhasil membawa Tarumanegara ke masa gemilangnya. Atas jasanya, ia dikenang di prasasti dan disebut sebagai raja yang sukses membangun megaproyek. Salah satu proyek besar yang dibuat oleh Purnawarman adalah pembangunan infrastruktur di Sungai Citarum.

Megaproyek Sungai Citarum Raja Purnawarman yang Abadi hingga Kini

Masih ingatkah Anda dengan legenda Sangkuriang? Cerita tersebut jadi foklore yang secara tak langsung mengikuti sejarah pembangunan Sungai Citarum.

Dikisahkan Sangkuriang membunuh Tumang, anjing yang sangat disayang oleh keluarganya. Tanpa disadari, Tumang adalah jelamaan dari dewa sekaligus ayah dari Sangkuriang. Karena tragedi itu, sang ibu marah besar kepada anaknya dan memukul Sangkuriang dengan centhong nasi di kepala Sangkuriang hingga terluka. Karena perlakuan kasar ibunya, Sangkuriang yang marah dan kecewa memutuskan untuk lari dari rumah.

Singkat cerita, Sangkuriang yang telah mengembara bertahun-tahun mendadak rindu kampung halaman. Pergilah Sangkuriang ke perkampungan di mana ia menghabiskan masa kecilnya. Saat itu ia bertemu dengan perempuan cantik yang membuatnya jatuh cinta, si Dayang Sumbi. Yang tak disangka, perempuan yang berhasil merebut hati Sangkuriang ternyata adalah ibunya.

Dayang Sumbi yang tahu pria yang meminangnya tak lain adalah anaknya, ia mencoba mengajukan dua syarat dengan harapan menggagalkan pinangan Sangkuriang.

Syarat pertama adalah membendung sungai dan syarat kedua adalah membuat perahu besar untuk menyeberangi sungai tersebut. Kedua syarat harus terpenuhi dalam waktu satu malam. Tentu saja dengan segala cara, Dayang Sumbi mencoba menggagalkan usaha Sangkuriang. Pada akhirnya upaya penggagalan Dayang Sumbi atas usaha Sangkuriang berhasil.

Karena kecewa, Sangkuriang menendang perahu yang kemudian dipercaya sebagai awal mula terciptanya Tangkuban Parahu. Sangkuriang juga merusak sungai yang ia bendung hingga jadi cikal bakal Sungai Citarum.

Kata “Citarum” asalnya dari dua kata, “Ci” dan “Tarum”. “Ci” atau “Cai” dalam bahasa Sunda berarti air. Sedangkan “Tarum” adalah jenis tanaman yang menghasilkan warna ungu atau nila. Biasanya digunakan untuk bahan pencelup tekstil tradisional.

Dalam situs citarum.org dikatakan bahwa sungai yang berhulu di Gunung Wayang Kabupaten Bandung itu merupakan sungai terpanjang sekaligus terbesar di Provinsi Jawa Barat. Panjang aliran sungai mencapai 297 Km dan hampir membelaj Jawa Barat.

Sumber air Citarum berasal dari mata air Gunung Wayang (sebelah selatan Kota Bandung) yang kemudian dialirkan ke Utara lewat Cekungan Bandung dan bermuara di Laut Jawa.

Dalam naskah Wangsakerta, dikutip dari situs indonesia.go.id, dikatakan bahwa di masa kuasa Sri Maharaja Purnawarman, raja ketiga dari Tarumanegara itu membangun proyek raksasa dari tanggal 3 bulan Jesta (Mei/Juni) hingga tanggal 12 bulan Asada (Juni/Juli) tahun 419 di Citarum.

Purnawarman menitahkan untuk melakukan pengerukan dan pendalaman Sungai Citarum yang dimaksudkan untuk irigasi dan pengendali banjir. Sungai Citarum sendiri dikeruk dari Cekungan Bandung, cekungan yang dikelilingi gunung api yang tingginya 650 mdpl hingga lebih dari 2000 mdpl.

Tujuh Buah Prasasti Peninggalan Kerajaan Tarumanegara

Besarnya Kerajaan Tarumanegara memang diceritakan dalam prasasti-prasasti yang diteliti oleh para ahli sejarah dan arkeolog. Bahkan, Tarumanegara sendiri memiliki tujuh buah prasasti yang menceritakan besarnya kerajaan mereka serta menceritakan jasa Purnawarman, raja yang sukses membangun proyek besar. Lalu, apa saja peninggalan prasasti Tarumanegara?

Prasasti Ciaruteun

Letaknya berada di daerah Leuwiliang, Bogor. Dalam prasasti tergambar sepasang telapak kaki dengan keterangan bahwa telapak kaki tersebut milik Raja Purnawarman. Selain telapak kaki juga tergambar laba-laba dan huruf ikal melingkar.

“Kedua tapak kaki Raja Purnawarman, raja dari Taruma, raja yang gagah berani,” demikian tulisan dalam prasasti.

Selain itu ada pula lukisan laba-laba dan huruf ikal melingkar. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa huruf tersebut merupakan tanda tangan dari raja Purnawarman.

Prasasti Jambu

Seperti namanya, prasasti ini ditemukan di perkebunan jambu di bukit Pasir Koleyangkak, Leuwiliang, Bogor (30 km Barat Bogor). Dalam prasasti juga memuat keterangan terkait tapak kaki Purnawarman.

“Tapak kaki ini adalah tapak kaki Sri Purnawarman raja Tarumanegara. Baginda termasyhur gagah berani, jujur dan setia menjalankan tugasnya dan tak ada taranya. Baginda selalu berhasil membinasakan musuh-musuhnya. Baginda hormat kepada para pangeran tetapi sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya, serta melindungi mereka yang memberikan bantuan kepadanya”.

Prasasti Pasir Awi

Prasasti ini ditemukan di Pasir Awi, Bogor. Dalam situs kebudayaan.kemdikbud.go.id dikatakan bahwa seorang arkeolog asal Belanda, N.W. Hoepermans, menemukan prasasti tersebut pertama kali pada 1864.

Dalam prasasti terpahat sepasang tapak kaki yang sama dengan pahatan yang ada di prasasti Jambu. Artinya, gambar tapak kaki tersebut kemungkinan besar dianggap sebagai tapak kaki milik Sri Purnawarman.

Prasti Kebun Kopi

Ditemukan di kampung Muara Hilir, Cibungbulan Bogor. Seperti prasasti lain, telapak kaki juga terpahat di permukaan batu. Dalam parasasti tertulis “telapak kaki seperti telapak kaki airawata. Airawata adalah gajah kendaran dewa Indra. Inilah telapak kaki penguasa negara Taruma yang agung”.

Prasasti Muara Cianten

Ditemukan di Muara Cianten, Bogor. Di prasasti ini kembali ditemukan gambar yang dianggap telapak kaki Purnawarman. Sayangnya hingga kini tulisan dalam prasasti belum bisa dibaca. Prasasti ini pertama kali juga dilaporkan oleh NW Hoepermans pada tahun 1864.

Prasasti Tugu

Ditemukan di Tugu, daerah Cilincing, DKI Jakarta (berdekatan dengan perbatasan dengan Bekasi). Pada permukaan prasasti diceritakan penggambaran Purnamarwan.

“Dahulu sungai yang bernama Candra Hhaga telah (disuruh) gali oleh Maharaja Purnamarwan. Maharaja yang mulia mempunyai lengan yang kuat. Setelah sampai ke istana kerajaan yang termasyhur, sungai dialirkan ke laut. Di dalam tahun ke-22 dari takhta yang mulia raja Purnawarman yang gemerlapan karena kepandaian dan kebijaksanaannya serta menjadi panji-panji dari segala raja-raja. Baginda memerintahkan pula menggali sungai yang permai bersih jernih yang bernama Gomati setelah sungai itu mengalir di tempat kediaman yang mulia Nenekda sang pendeta (sang Purnawarman). Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik tanggal 8 paro petang bulan Phalguna dan selesai pada tanggal 13 paro terang bulan Caitra, hanya 21 hari saja sedang galian itu panjangnya 6122 tumbak. Upacara (selamatan) itu dilakukan oleh para Brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dikorbankan.”

Prasasti Lebak Atau Cidanghiang

Ditemukan di kampung Lebak yang letaknya di tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Muncul, kabupaten Pandeglan, Banten. Prasasti ini pertama kali muncul dalam laporan kepala Dinas Purbakala Toebagoes Roesjan pada tahun 1947.

Prasasti ini juga sering disebut sebagai prasasti Cidanghiang atau Prasasti Munjul. Prasasti ini juga menceritakan sosok Purnawarman.

“Inilah tanda keperwiraan yang mulia Purnawarman. Baginda seorang raja yang agung dan gagah berani. Baginda seorang raja dunia dan menjadi panji sekalian raja”.

Prasasti Lebak juga menceritakan batas-batas kerajaan Tarumanegara yang pada bagian Barat berbatasan dengan laut, sebelah Selatan berbatasan dengan laut, sebelah Timur berbatasan dengan  Sungai Citarum, dan sebelah Utara berbatasan dengan Karawang.

Selain terkait peninggalan sejarah Kerajaan Tarumanegara, dapatkan informasi dan berita nasional maupun internasional lainnya melalui VOI.