JAKARTA - Pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini menggugat presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Eks Ketua Perludem itu menggugat Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu bersama Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (NETGRIT), Hadar Nafis Gumay. Keduanya menguji konstitusionalitas pasal tersebut karena dianggap tidak memberikan keadilan bagi partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di parlemen.
"Para pemohon memberikan alternatif pilihan mengenai pengaturan ambang batas pencalonan presiden yang dapat dijadikan sebagai pertumbangan kepada Mahkamah dalam memutus perkara dimaksud," kata salah satu kuasa hukum para pemohon, Sandy Yudha Pratama Hulu, pada sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Rabu 7 Agustus, disitat Antara.
Para pemohon memberikan alternatif pengaturan ambang batas pencalonan presiden yang tidak lagi didasarkan pada perhitungan matematis jumlah kursi maupun suara yang didapat oleh partai politik pada pemilu sebelumnya.
Dalam hal ini, mereka mengajukan dua model pengaturan ambang batas pencalonan presiden.
Pertama, partai politik yang memiliki kursi di DPR diberikan hak untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden tanpa dikenakan ambang batas pencalonan.
"Artinya, setiap partai politik yang berhasil melewati ambang batas parlemen dalam pemilu sebelumnya berhak untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden," imbuh Sandy.
Kedua, partai politik nonparlemen dan partai politik yang baru menjadi peserta pemilu dikenakan ambang batas pencalonan presiden sekurang-kurangnya 20 persen dari jumlah partai politik peserta pemilu.
"Hal ini berarti ambang batas pencalonan presiden yang diberlakukan bagi partai politik nonparlemen maupun partai politik yang baru mengikuti pemilu berjalan bukanlah hasil dari pemilu sebelumnya," kata Sandy.
Partai politik nonparlemen maupun yang baru mengikuti pemilu dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan cara menggabungkan diri pada suatu kelompok partai pengusul yang berjumlah sekurang-kurangnya 20 persen dari jumlah partai politik peserta pemilu yang sedang berjalan.
Penetapan ambang batas 20 persen bagi partai politik nonparlemen dan partai politik yang baru mengikuti pemilu diambil dari norma yang ada saat ini (existing norm) yang telah digunakan sejak Pilpres 2009.
"(Pilpres) 2009, 2014, 2019, 2024, empat kali angkanya ‘kan selalu 20 persen, tetapi kami merekonstruksi itu: tidak dari kursi, tetapi dari jumlah partai politik," kata Titi di luar ruang sidang.
BACA JUGA:
Menurut para pemohon, adanya perbedaan desain pengaturan ambang batas antara partai politik parlemen dan nonparlemen sesuai dengan pendirian MK dalam putusan terdahulu bahwa partai politik parlemen dan nonparlemen bisa diperlakukan secara tidak sama.
Pada petitumnya, Hadar dan Titi meminta MK memaknai Pasal 222 Undang-Undang Pemilu menjadi "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan/atau gabungan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki kursi di DPR yang jumlahnya paling sedikit 20 persen (dua puluh persen) dari seluruh partai politik peserta pemilu anggota DPR."
Selain itu, para pemohon juga mengajukan petitum alternatif yang pada intinya agar pasangan calon dapat diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR dan diusulkan oleh gabungan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR dengan ambang batas yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang.
Sidang perdana perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 itu dipimpin Ketua MK Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah dan Arsul Sani. Di akhir persidangan, Suhartoyo memberi waktu bagi para pemohon untuk memperbaiki permohonannya hingga 20 Agustus 2024.