JAKARTA - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyebut banyak informasi keagamaan yang terfilter dengan baik di media sosial. Hal inilah yang membuat banyak orang terpapar dengan paham radikalisme.
“Media sosial ini informasi-informasi keagamaannya tidak terfilter dengan baik. Bahkan, saya dapat laporan dan juga bertemu dengan beberapa mantan napiter (napi tidak terorisme), mereka bilang menjadi radikal karena berinteraksi sesama orang radikal yang sudah terpapar melalui media sosial,” kata menteri yang kerap disapa Gus Yaqut dalam peluncuran survei Indikator Politik Indonesia bertajuk ’Survei Nasional Suara Anak Muda Tentang Isu Sosial-Politik Bangsa’ yang digelar secara daring, Minggu, 21 Maret.
Melihat kondisi ini, ke depan, Kementerian Agama bakal membuat program dengan pendekatan digitalisasi untuk mencegah radikalisme dan intoleransi di tengah masyarakat terutama anak muda.
Hal ini perlu dilakukan karena kebiasaan masyarakat terutama anak muda yang seringkali menghabiskan waktunya untuk mengakses internet. Bahkan, mengutip sebuah hasil survei, Gus Yaqut menyebut anak muda bisa mengakses internet dan media sosial hingga tujuh jam dalam sehari.
"Dengan lebih dari 52 persen anak-anak muda ini, kebijakan-kebijakan keagamanan untuk memfilter prilaku radikal dan intoleran sudah seharusnya memang diarahkan kepada transformasi digital, nggak ada pilihan lain,” jelasnya.
BACA JUGA:
Lebih lanjut, Yaqut juga menyebut masih ada anak muda yang ternyata permisif dengan radikalisme dan sikap intoleran di tengah masyarakat. Tentunya, hal ini bukanlah hasil yang menggembirakan.
"Kalau tidak salah sekitar 7 atau 12 persen, itu kalau dikalikan jumlah populasi kan banyak banget itu, tinggi sekali anak-anak muda yang sangat permisif dengan prilaku-prilaku yang intoleran,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Indikator Politik Indonesia juga memaparkan hasil survei mereka yang menyebut 49,4 persen responden dari generasi melenial yang menilai bahwa persoalan radikalisme di kalangan umat Islam Indonesia sangat mendesak atau mendesak untuk segera ditangani oleh pemerintah.
Sedangkan sebesar 28,8 persen menilai kurang atau tidak mendesak dan 21,8 persen tidak tahu atau tidak jawab.
Berikutnya, 41,6 persen responden menyatakan radikalisme harus jadi perhatian serius pemerintah karena sangat mengancam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Sementara 24.1 persen menyatakan pemerintah tidak adil terhadap umat Islam, radikalisme hanya ditujukan kepada umat Islam saja, 34.3 persen tidak menjawab.
"Sekali lagi soal radikalisme ini belum mayoritas menjadi konsen generasi muda," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi.
Adapun survei ini dilakukan dengan menggunakan metode simple random sampling sebanyak 206.983. Responden terdistribusi secara acak di seluruh nusantara dan pernah diwawancarai secara tatap muka langsung dalam rentang 2 tahun terakhir.
Sementara margin of error survei ini, sekitar 2,9 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. Survei digelar pada Maret 2018-2020. Total survei sampel yang berhasil diwawancara sebanyak 1.200 responden warga negara Indonesia berusia 17-21.