Bagikan:

JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memastikan melaksanakan tugasnya dengan penuh independensi dan integritas. Ada standar dan pedoman pemeriksaan yang harus dipenuhi sebelum memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) terhadap kementerian/lembaga.

Hal ini disampaikan BPK menanggapi kesaksian Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) Hermanto di sidang kasus pemerasan dan penerimaan gratifikasi yang menjerat eks Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo.

“Pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK dilakukan berdasarkan standar pedoman pemeriksaan serta dilakukan reviu mutu berjenjang atau quality control dan quality assurance,” demikian dikutip dari keterangan tertulis yang diunggah di situs resmi, Sabtu, 11 Mei.

BPK memastikan tiap pegawainya memegang erat pedoman tersebut dalam melaksanakan tugasnya. “Apabila ada kasus pelanggaran integritas maka hal tersebut dilakukan oleh oknum yang akan diproses pelanggaran tersebut melalui sistem penegakan kode etik,” tegas mereka.

Lebih lanjut, BPK menghormati proses sidang yang berjalan. Tapi, mereka minta asas praduga tak bersalah tetap dikedepankan.

“BPK mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan tidak menolerir tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundangan-perundangan, kode etik, standar, dan pedomen pemeriksaan,” ungkapnya.

“Untuk itu BPK telah membangun sistem penanganan atas pelaporan pelanggaran atau whistleblowing system dan program pengendalian gratifikasi untuk memitigasi risiko terjadinya pelanggaran kode etik BPK, termasuk proses dan pemberian hukuman kepada oknum di BPK yang terbukti melanggar kode etik melalui Majelis Kehormatan Kode Etik BPK,” sambung keterangan tertulis yang diunggah Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK.

 

Diberitakan sebelumnya, Hermanto yang merupakan Sekretaris Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan) mengungkap ada permintaan dari BPK sebesar Rp12 miliar agar mendapat WTP. Tapi, jumlah ini hanya dibayarkan sekitar Rp5 miliar.

“Enggak, kita tidak penuhi. Saya dengar tidak dipenuhi. Saya dengar mungkin enggak salah sekitar Rp5 miliar atau berapa. Yang saya dengar-dengar,” kata Hermanto yang hadir sebagai saksi dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu, 8 Mei.

“Saksi dengarnya dari siapa?" tanya jaksa yang kemudian dijawab Hermanto "Pak Hatta.”