Fadli Zon Tiba-tiba Cuit <i>Zero Sum Game</i>, Apa Maknanya?
Fadli Zon (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon tiba-tiba mencuit 'zero sum game' dalam akun twitter resminya, @fadlizon, Senin, 8 Maret. Tidak dijelaskan secara rinci apa konteks hingga makna dari cuitan ini.

Nah, daripada kebingungan, VOI akan memberikan definisi dari cuitan Fadli Zon tersebut menurut Muhammad Feriady, dosen di Universitas Negeri Semarang (Unnes).

Zero Sum Game pertama kali dipublikasikan pada tahun dalam buku Theory of Games and Economic Behavior pada 1944 oleh John Von Neumann dan Oscar Morgenstrern.

Zero sum game adalah kondisi yang menggambarkan bahwa jumlah keuntungan dan kerugian dari seluruh peserta dalam sebuah permainan adalah Nol. Artinya keuntungan yang dimiliki atau didapatkan seorang pemain berasal dari kerugian yang dialami oleh pemain lainya.

Hal ini pasti ada dalam sebuah game, namun apakah zero sum game ini menjadi pantas apabila terjadi dalam kontestasi yang katanya bertujuan untuk kepentingan bangsa dan negara?

Menyoal tentang pertarungan di akar rumput oleh simpatisan pendukung pasangan calon peserta pemilu tentu saja merupakan hal yang merugikan apabila terjadi kondisi zero sum game di dalamnya. Betapa tidak, pendukung dari “si kalah” akan dibully habis dan pendukung “si menang” seolah menjadi yang empunya negara.

Pada babak selanjutnya giliran pendukung “si kalah” menjadi pengkritik serba tahu dan pendukung “si menang” menjadai objek serba salah.

Kompetisi yang dilakoni para elit seolah menempatkan masyarakat sebagai serdadu perang dengan berbagai gerakan masiv di sosial media bahkan dunia nyata, sementara para elit sibuk menikmatinya.

Sebuah kontestasi yang berahir layaknya permainan judi di meja poker dengan zero sum game didalamnya, padahal hakikatnya proses ini adalah untuk kepentingan bangsa dan negara.

Non Zero Sum Game

Pertanyaan selanjutnya adalah apakah mungkin proses yang sejak 2014 bahkan sejak pertamakali reformasi bergulir yang selalu menempatkan serdadu rakyat dalam pertarungan ini berahir dengan Non Zero sum game (kebalikan Zero Sum Game)?

Mungkinkah semua pendukung peserta kontestasi menjadi kelompok yang sama-sama menang? Pertanyaan serupa pasti terngiang dalam banyak benak masyarakat yang sudah terlalu jenuh dengan berbagai pertarungan antar pendukung dan simpatisan yang bahkan melewati batas rasional yang mereka punya.

Di dalam Game Theory sebenarnya kondisi yang terjadi tidak harus Zero Sum Game, dapat juga berlaku Non Zero Sum Game dengan hasil win-win atau lose-lose solution. Keadaan ini tentu akan berlaku dengan asumsi kelompok pemilih disini adalah orang yang melakukan permainan.

Kita ibaratkan mereka seperti halnya perusahaan yang menetapkan strategi dalam pasar. Mereka bebas menentukan kriteria pemimpin seperti apa yang layak untuk mereka. Keadaan ini berbeda dengan realita saat ini dimana kebanyakan pemilih dan simpatisan justru menjadi pasar yang menjatuhkan pilihanya dengan tidak rasional.

Metode lain dalam Game theory dapat menjelaskan kondisi win-win solution ini, salah satunya adalah equilibrium Nash yang dipopulerkan oleh John Nash 1950. Teori ini menjelaskan bahwa salah satu pemain akan menyusun sebuah strategi berdasarkan strategi yang dilakukan oleh pemain lawan.

Permasalahanya adalah kita dihadapkan pada ketidaktahuan kita terhadap keinginan pemain lawan, dalam Game Theory disebut sebagai Prisoners dilemma. Demikian seperti halnya para pendukung dan simpatisan pasangan calon yang sama-sama tidak mengetahui sebenarnya apa yang penting dan diinginkan oleh pendukung dan simpatisan lainya.

Itu sebabnya Nash mengatakan bahwa Equilibrium Nash hanya cocok untuk analisis jangka pendek, dalam jangka Panjang sebagiknya para pelaku permainan berkerjasama. Hal ini didukung kuat oleh ilmuan peraih Nobel lainya seperti Thomas C Schelling dan Robert Aumann.

Pada tahap selanjutnya dalam Game Theory adalah metode Enforcing a Cartel, dimana di dalam pasar duopilis perusahaan dapat menetapkan sendiri harga mereka, kemudian terjadi persaingan harga. Akan aman jika mereka menetapkan harga sesuai kesepakatan dan memperoleh untung bersama sebanyak-banyaknya.

Demikian dengan para pendukung dan simpatisan, alangkah baiknya jika mereka duduk Bersama kemudian mendiskusikan kriteria calon pemimpin yang ideal menurut mereka dan syarat wajib yang harus dimiliki. Ketika terjadi kontestasi dan kedua calon yang mereka usung bertarung mereka tidak perlu beradu fisik dan pikiran, karena siapapun yang menjadi pemenangnya pada dasarnya adalah sama.

Hal ini dikarenakan kriteria calon yang mereka bela sudah disepakati sama. Apabila ini bisa diterapkan tentunya siapa yang menjadi pemenang dalam kontestasi akan diterima oleh semua. Demikian juga dengan yang kalah dalam kontestasi maka akan merasa menjadi pemenang bersama dari hasil yang ada.

Pada pandangan yang disampaikan penulis idealnya kesepakatan-kesepakatan tentang kriteria calon yang akan dipilih beserta syarat yang harus dimiliki merupakan hal yang substantif bagi masing-masing pendukung.

Namun seperti halnya pada Game Theory dalam menganalisis perilaku pasar oligopoli syarat yang paling utama adalah jika semua pemain dalam permainan ini melakukan tindakan rasional. Pertanyaan yang tidak dapat dijawab saat ini adalah apakah para pendukung dan simpatisan bahkan diri kita adalah orang yang berpikir rasional dalam pemilihan umum?