Bagikan:

JAKARTA - Front Penyelamat Demokrasi dan Reformasi (F-PDR) berencana mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum putusan sengketa Pilpres 2024.

Pengajuan ini menyusul langkah Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya telah mengajukan sebagai amicus curiae.

"Apa yang sudah diajukan Bu Mega, kami juga sudah menyusun. Jadi, ada nanti empat poin yang kami sampaikan ke sana. Kita akan lihat setelah kita diskusikan. Kita akan sampaikan ke sana," kata Ketua Umum F-PDR Marsekal (Purn) TNI Agus Supriatna di Sekretariat F-PDR, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Kamis, 18 April.

Dari bergulirnya amicus curiae, Eks Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) ini mendesak para hakim MK bisa berpikir jernih dalam memutuskan PHPU untuk pilpres 2024 yang diajukan para pemohon.

"Kami hanya mendesak dan kami yakin bahwa semua hakim yang ada di MK, mudah-mudahan mereka menggunakan hati nurani mereka dengan secara rasional, berpikir sehat, menggunakan akal sehat, dengan hati nurani mereka, sehingga mereka bisa dengan tulus ikhlas, apa, sih, bagaimana, sih, penyelenggaraan pemilu 2024, terutama pilpres 2024," ungkap Agus.

Megawati Soekarnoputri sebelumnya mengajukan diri sebagai amicus curiae di MK. Amicus curiae diartikan sebagai sahabat pengadilan yang membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang memiliki kaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut.

Megawati melalui Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketua DPP PDIP Djarot Saiful Hidayat menyerahkan dokumen amicus curiae ke MK, Selasa, 16 April.

"Seluruh pertimbangannya yang disampaikan ibu Megawati sebagai amicus curiae dan kemudian ditutup dengan tulisan tangan," ujar Hasto kepada wartawan di MK, Jakarta.

Usai menyerahkan dokumen tersebut, Hasto sedikit membacakan pendapat hukum dari Megawati yang tertuang dalam amicus curiae tersebut, yang berbunyi:

"Rakyat Indonesia yang tercinta, marilah kita berdoa semoga ketuk palu Mahkamah konstitusi bukan merupakan palu godam melainkan palu emas. Seperti kata ibu Kartini pada tahun 1911: 'habis gelap terbitlah terang' sehingga fajar demokrasi yang telah kita perjuangkan dari dulu timbul kembali dan akan diingat terus menerus oleh generasi bangsa Indonesia."