Bagikan:

JAKARTA - Anak perempuan tetap dilarang mengikuti pendidikan menengah untuk tahun ketiga berturut-turut, saat Kementerian Pendidikan Afghanistan mengumumkan dimulainya tahun ajaran baru pada Hari Rabu.

Siswa laki-laki kembali ke kelas pada awal tahun baru Afghanistan, tetapi perempuan dan anak perempuan tidak bersekolah karena gelombang pembatasan yang oleh PBB disebut sebagai “apartheid gender”.

Perempuan dan anak perempuan dilarang mengenyam pendidikan setelah Kelas 6 sejak pengambilalihan Taliban pada tahun 2021.

Taliban telah sangat membatasi akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan, sehingga secara efektif menghapus separuh populasi mereka dari masyarakat.

"Sulit untuk mendapatkan motivasi ketika segalanya tertutup bagi Anda dan tidak ada perspektif masa depan," kata Ddirektur Begum Academy Hamida Amanshe, melansir The National News dari AFP 21 Maret.

Begum Academy menyediakan kelas online untuk memungkinkan perempuan dan anak perempuan yang dilarang mendapatkan pendidikan.

"Gadis-gadis ini tidak bisa memiliki ijazah, atau mereka tidak punya ambisi untuk melanjutkan ke universitas atau mendapatkan pekerjaan di kemudian hari," lanjutnya.

Tak hanya pendidikan formal, program sekolah berbasis rumah yang diselenggarakan oleh organisasi internasional sering kali ditutup oleh pihak berwenang.

Seperti halnya pada pendidikan menengah, perempuan juga dilarang mengikuti pendidikan pada jenjang perguruan tinggi sejak Desember 2022, saat perguruan tinggi negeri juga membuka tahun ajaran baru.

Situasi ini membuat UNESCO menempatkan Afghanistan sebagai salah satu tempat terburuk di dunia untuk wanita, dengan salah satu tingkat melek huruf terendah.

Pendidikan untuk anak perempuan dan perempuan merupakan tujuan utama Pemerintah Afghanistan yang didukung AS sebelumnya. Namun, pencapaiannya sebagian besar terbatas di kota-kota saja, dengan hanya 23 persen anak perempuan berusia 13 hingga 18 tahun bersekolah di seluruh negeri, menurut lembaga pemikir International Crisis Group.

Angka tersebut turun menjadi 13 persen setelah Pemerintahan Taliban mengumumkan larangan pendidikan.

Badan Anak-anak PBB mengatakan lebih dari satu juta anak perempuan terkena dampak larangan tersebut.

Sejak pengambilalihan tersebut, otoritas Taliban mengatakan mereka berupaya membangun sistem yang selaras dengan interpretasi mereka terhadap hukum Islam.

Alternatif daring telah bermunculan, namun dengan koneksi internet yang lemah, pemadaman listrik yang berulang kali, dan kelangkaan komputer, kelas virtual adalah pengganti yang buruk untuk pembelajaran tatap muka, kata para siswa dan guru.

Anak perempuan dan perempuan muda Afghanistan juga mendaftar di madrasah dalam upaya melanjutkan pendidikan mereka.

Namun para ahli mengatakan sekolah-sekolah agama ini, meskipun penting, tidak dapat mengompensasi hilangnya akses terhadap pendidikan menengah.

Laporan UNESCO tahun lalu mengatakan 2,5 juta anak perempuan dan perempuan muda Afghanistan tidak mengikuti sistem pendidikan, 80 persen dari kelompok umur tersebut.

Meski demikian, alternatif-alternatif ini tidak dapat memberikan ijazah atau kualifikasi tersertifikasi yang diakui di seluruh dunia.

"Kami memiliki generasi perempuan baru yang berpendidikan tinggi dan mereka tidak akan berhenti belajar. Mereka berusaha mencari cara baru, tapi sulit karena mereka tidak bisa mengenyam pendidikan formal," kata Manizha Bakhtari, mantan kepala staf urusan luar negeri Afghanistan, kepada The National News pada Juni lalu.

Diketahui, otoritas Taliban telah menerapkan interpretasi yang ketat terhadap hukum Islam sejak mereka merebut kekuasaan.