JAKARTA - Wakil Presiden (Wapres) ke-10 dan 12 Jusuf Kalla (JK) menyoroti sistem penghitungan suara usai pemilu di Tanah Air. Masalah ini disebutnya membuat bimbang karena penggunaan teknologi bukan memudahkan tapi rawan penyalahgunaan.
Hal ini disampaikan JK ketika jadi pembicara utama atau keynote speaker dalam diskusi ‘Konsolidasi untuk Demokrasi Pasca Pemilu 2024: Oposisi atau Koalisi?’ di Auditorium Juwono Sudarsono Fisip UI, Depok, Kamis, 7 Maret.
“Kita lihat prosesnya ini Indonesia ini. Kita masalahnya agak bimbang juga, pemilu diitung manual terlalu lama, dapat dibayangkan … kita pake komputer salah pula itu,” kata JK.
Karena kesalahan inilah akhirnya sistem yang ada justru tak bisa maksimal digunakan, ujar JK. “Akhirnya kita punya pemakaian digital, internet pajangan saja. Tetap kembali hitung ulang,” tegasnya.
JK menilai kondisi ini sebenarnya menimbulkan bahaya yang korbannya adalah Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bahkan, ia menyebut banyak petugas yang meninggal dunia pada Pemilu 2019 dan 2024.
“Sekarang hampir 100 orang (yang meninggal, red). Ongkosnya terlalu besar,” ujarnya.
Karenanya situasi yang ada sekarang termasuk soal sistem penghitungan suara yang tak berjalan maksimal ini harus jadi perhatian. Semua pihak harusnya jujur dan tidak menutupi kondisi yang ada.
“Marilah, ini ujungnya balik lagi karena ujungnya kejujuran,” ungkap JK.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan menggunakan sistem rekapitulasi suara (Sirekap) disoroti banyak pihak. Kekinian, lembaga itu bahkan tidak menayangkan lagi diagram dan bagan perolehan suara Pilpres 2024 serta Pileg 2024 di situs mereka.
"Kini kebijakan KPU hanya menampilkan bukti autentik perolehan suara peserta pemilu," kata Anggota KPU Idham Holik dalam keteranganya, Selasa 5 Maret.
Ia menjelaskan langkah ini diambil untuk mencegah timbulnya prasangka publik karena ketidaksesuaian data. Sebab, ada beberapa gangguan yang menyebabkan jumlah perolehan suara hasil pindai dan di Model C1-Plano menjadi berbeda.
"Ketika hasil pembacaan teknologi Sirekap tidak atau kurang akurat dan belum sempat diakurasi oleh uploader, kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS), dan operator Sirekap KPU kabupaten/kota, akan jadi polemik dalam ruang publik yang memunculkan prasangka," ujarnya.