JAKARTA - Ekonom Indef Abra Talattov merasa miris dengan sikap Presiden Joko Widodo yang menjawab soal mahalnya harga beras yang dijual di masyarakat. Abra menilai, Jokowi seolah menjauhkan diri dari beban yang ditanggung oleh rakyat di tengah mahalnya harga beras.
Abra mulanya mengomentari soal kebijakan-kebijakan yang belakangan ini sifatnya menghibur. Salah satunya adalah penyaluran bantuan sosial (bansos) yang dinilai menjadi alat kampanye salah satu paslon.
"Bahkan Bansos ada jokes-nya, jangan jangan negara kita untuk bisa melanggengkan pemerintahan yang otoritatif dan keblinger ini caranya membuat masyarakat, SDM, kesejahteraan tidak bangkit," ujar Abra dalam acara diskusi dan konsolidasi darurat nasional 'Rusaknya Tata Kelola Negara' yang disiarkan akun YouTube PMII Official, Senin, 4 Maret.
Indikatornya, lanjut Abra, dulu di tahun 2024, Presiden Jokowi menargetkan kemiskinan bisa di turunkan menjadi 6-7,5 persen. Tapi faktanya sampai tahun lalu angka kemiskinan masih 9,3 persen.
"Kedua, pengangguran. Targetnya diturunkan 3,5-4,3 persen tapi angkanya masih 5,2 persen, masih besar sekitar 8 juta pengangguran, itu 20 persennya generasi gen Z usia 15-24 tahun. Artinya, kalau misalnya pemerintah menutup mata persoalan-persoalan sosial khususnya anak muda yang masih memiliki rasa idealisme dan kritis yang tinggi itu akan menjadi bom waktu," jelas Abra.
Abra menuturkan, masyarakat kini menyaksikan bagaimana elite elite begitu vulgar mendistribusikan kekuasaan dan fasilitas negara untuk kepentingan keluarga. Hal ini, kata dia, tentu berbahaya.
"Kebijakan kolutif sangat terasa dalam kenaikan harga harga, misalnya harga beras, naik 18 persen. Ini kenaikan paling tinggi sejak era order baru. Rp18 ribu rupiah per kilo," katanya.
Abra lantas merasa miris dengan respons Presiden Jokowi terkait melambungnya harga beras yang sangat tinggi. Menurutnya, tak semestinya kepala negara acuh akan kebaikan harga bahan pokok ini.
"Mirisnya, kita mendengarkan tadi pagi pak presiden menyampaikan seperti ingin menjauhkan diri dari beban yang ditanggung oleh masyarakat. Ini sangat tidak pantas statement itu keluar dari kepala negara," tegas Abra.
"Harusnya, seberapa pun pertanyaan yang gencar dari publik, ya harusnya bisa dijawab dan diberikan ketenangan masyarakat bukan malah menghindar. Nah ini kan kita justru semakin khawatir, jangan jangan pemerintah tidak sanggup untuk melaksanakan stabilisasi harga beras maupun kebutuhan pokok lain," imbuhnya.
Abra juga mengungkit komitmen Jokowi yang ingin swasembada pangan tapi malah ikut-ikutan doyan impor. Di mana tahun lalu sudah mengimpor beras sebanyak 3 juta ton dan justru ditingkatkan pada tahun ini menjadi 3,4 juta ton.
"Sudah impor besar, herannya harga harga pangan beras nggak turun. Lagi-lagi alasannya karena elnino, pembatasan impor dari negara lain, musim hujan yang panjang. Tapi tidak habis pikir program bansos dirapel pada Januari menjelang pemilu itu sangat terlihat lah ini," pungkasnya.
Pagi tadi, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengatakan harga beras sudah mengalami penurunan. Publik diminta mengecek langsung ke pasar induk beras di Cipinang, Jakarta dan Johar, Karawang, Jawa Barat.
Hal ini disampaikan Jokowi saat ditanya soal mahalnya harga beras di pasaran. Katanya, masyarakat bisa berbondong-bondong mendatangi dua pasar tersebut.
"Ditanyakan saja, tolong berbondong-bondong ke pasar induk beras Cipinang dan juga ke pasar beras di pasar Johar, Karawang. Dilihat di lapangan, sudah turun," kata Jokowi kepada wartawan di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Senin, 4 Maret.
Jokowi mengamini harga di dua pasar itu memang tak bisa jadi tolok ukur. Tapi, ia mempersilakan publik mengecek langsung ke sana.
"Memang itu tidak bisa merepresentasikan harga-harga di seluruh Tanah Air, di beberapa provinsi. Coba dicek semua, dicek langsung. Jangan ditanya ke saya meski saya tahu, tiap hari itu harga naik turun saya tahu," tegas eks Gubernur DKI Jakarta itu.
"Jangan terus ditanyakan ke saya. Cek ke lapangan sendiri, berbondong-bondong ke sana," pungkas Jokowi.